Tulisan ini sejatinya merupakan materi kultum saat shalat Tarawih terakhir di Ramadhan 1440. Kultum yang seharusnya disampaikan di Langgar al-Huda, Perum. Keledang Mas Baru, Sei Keledang, Samarinda ini karena beberapa hal tidak jadi disampaikan. Materi yang sudah ada rasanya sayang menguap begitu saja. Karenanya, di sini saya akan membagikan isi kultum tersebut.

Renungan
di Penghujung Ramadhan

الحمد لله هدانا لهذا وما كنا لنهتدي لولا أن هدانا الله. أشهد
أن لا إله إلا الله وحده لاشريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله لانبي ولارسول
بعده. الصلاة والسلام على أشرف الأنبياء والمرسلين سيدنا محمد صلى الله عليه وسلم
وعلى آله وصحبه ومن تبعه بإحسان إلى يوم الدين. أما بعد.
Hal pertama yang harus kita lakukan
tidak lain dan tidak bukan adalah bersyukur. Bersyukur atas segala yang telah
diberikan oleh Allah SWT kepada kita hingga detik ini. Bersyukur karena masih
diberi kesempatan bertemu dengan Bulan Suci ini. Bersyukur karena masih diberi
kekuatan, ketaatan, dan taufiq untuk dapat menjalankan ibadah puasa selama satu
bulan penuh. Bersyukur karena masih diberi kekuatan untuk istiqamah dalam
menghidupkan malam-malam di bulan ini dengan Ibadah Sholat Tarawih dan Sholat
Witir. Pendek kata, banyak hal yang selalu kita perlu syukuri.

Hidup ini sejatinya adalah “aji
mumpung”. Semua yang bisa kita lakukan hari ini dan saat ini hendaknya tidak
perlu ditunda-tunda lagi. Mumpung kita masih bertemu dengan bulan Ramadhan,
mumpung kita masih bisa berpuasa, mumpung kita masih sehat, mumpung kesibukan
kita tidak memaksa kita meninggalkan puasa, dan mumpung kita masih bisa
berkumpul di rumah Allah dalam rangka menjalankan berbagai macam ibadah. Kita
tidak tahu apa yang akan terjadi di Ramadhan tahun depan. Bisa jadi, Ramadhan
tetap datang, tapi fisik kita tak sesehat tahun ini atau bahkan kita memiliki
kesibukan yang justru memaksa kita tidak bisa berpuasa lagi. Karenanya, tahun
ini yang mana kita sedang di dalamnya hendaknya kita manfaatnya sebaik mungkin
dan semaksimal mungkin.

Pembicaraan tentang Ramadhan tentunya
tidak pernah ada yang baru. Sejak jaman dahulu, sudah banyak ceramah dan
pengajian yang diberikan yang berkaitan dengan bab puasa dan bulan Ramadhan.
Obrolan kali ini juga telah disampaikan ratusan bahkan ribuan kali oleh para
penceramah di berbagai kesempatan. Obrolan ini tak ubahnya “nguyahi segoro
atau “madahi iwak bekunyung”. Namun, berbicara kebaikan tidak cukup
sekali maupun sepuluh kali. Kabar bohong saja yang diulang-ulang dapat menjadi
kebenaran, lantas mengapa kita tidak mengulang kabar-kabar yang baik agar
semakin melekat di dalam sanubari kita.

Tak terasa puasa tinggal satu hari lagi.
Sudah banyak ibadah dan amalan, baik wajib maupun sunnah yang telah kita
usahakan di bulan ini. Bulan ini sejatinya adalah bulan latihan dalam
mengendalikan hawa nafsu. Bila bulan ini adalah latihan, hal tersebut berarti
bahwa sebelas bulan lainnya merupakan pertandingan yang sesungguhnya.
Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda kepada sahabat setelah Perang Badr “Kita
telah pulang dari Jihad Kecil dan akan menuju Jihad Akbar”. Sahabat bertanya
“Apakah itu Ya Rasulullah?” Beliau menjawab “yaitu Jihad melawan hawa nafsu”.

Hal demikian senada dengan bulan-bulan
lain selepas Ramadhan ini. Di saat itulah hawa nafsu kita menjadi
sebenar-benarnya musuh yang perlu diperangi. Di bulan Ramadhan, berbuat
ketaatan seperti sholat berjama’ah, sholat sunnah, membaca al-Qur’an,
qiyamullail, hingga berpuasa terasa ringan dan mudah. Hal tersebut dikarenakan
teman-teman, lingkungan, dan momentum yang ada mendukung kita untuk menjalankan
semua ketaatan tersebut. Warung-warung yang ditutupi tirai di siang hari, jam
kerja yang sedikit longgar, jama’ah masjid yang ramai, hingga ceramah para
ustadz tentang kemuliaan bulan ini semuanya mendukung untuk terlaksananya
berbagai ketaatan tersebut.

Hal berbeda akan kita temui di 11 bulan
lainnya. Berpuasa di hari biasa, membaca al-Qur’an, sholat sunnah, bahkan
sholat wajib berjama’ah tepat pada waktunya saja bisa jadi hal yang berat untuk
dilakukan karena lingkungan kita yang seringkali “dianggap” kurang mendukung.
Padahal sejatinya, inilah pertandingan yang sesungguhnya. Yaitu ketika kita
merasa tidak dijanjikan banyak pahala dan terbelenggunya setan.

Analoginya adalah seperti santri yang
selalu sholat berjamaah tepat waktu ketika dia di pesantren. Begitu ia
terlambat untuk berjama’ah, ia akan kena hukuman dari ustadz pembimbingnya.
Namun, ketika ia lulus bisa jadi kebiasaan tersebut tidak berlaku lagi. Di saat
tidak ada lagi peraturan yang mewajibkannya untuk berjamaah dan tidak ada lagi
ustadz yang akan menghukumnya, ia diuji apakah tetap pada ketaatannya dahulu
atau justru berbalik 180 derajat.

Tidak usah jauh-jauh. Ketika kita
berbuka saja, banyak yang justru balas dendam dengan makan, minum, dan
melakukan banyak hal yang dilarang ketika berpuasa. Tidak sedikit dari kita
yang makan terlalu banyak dan minum berbagai macam minuman saat berbuka.
Hasilnya, justru kita merasa terlalu kenyang dan tidak dapat melaksanakan
sholat Isya dan sholat tarawih berjama’ah. Hal tersebut sesuai dengan sabda
Nabi SAW bahwa seburuk-buruknya tempat yang dipenuhi oleh anak Adam adalah
perutnya.

Ketika perut penuh, makan akal akan
tertidur, jiwa akan malas, dan badan akan melambat dalam melakukan berbagai
hal. Hal ini berakibat pada meninggalkan berbagai perbuatan baik dan ibadah dan
lebih memilih bermalas-malasan di atas kasur atau di depan televisi saja. Lebih
jauh daripada itu, kejahatan karena perut yang kenyang justru lebih berbahaya
dari kejahatan karena perut yang lapar. Kejahatan karena perut lapar hanya
sebatas memenuhi perutnya. Adapun kejahatan karena perut yang kenyang adalah
untuk memenuhi hawa nafsunya yang tidak berujung.

Karenanya, mari kembali kita renungkan.
Saat lebaran nanti tiba, akankah kita membawa semua hasil latihan kita di bulan
ini atau justru kita akan kembali kepada masa-masa sebelum Ramadhan? Beberapa
Ulama pernah berkata bahwa
بئس
القوم لايعرفون الله حقا إلا في  شهر رمضان
“Seburuk-buruknya kaum adalah mereka
yang tidak mengenal Allah dengan benar kecuali di bulan Ramadhan”

Semoga kita tidak termasuk orang-orang
yang dimaksud di dalam ungkapan tersebut. Karenanya, kita perlu mengusahakan
sebagian (bila tidak dapat semuanya) amalan yang sudah kita lakukan di bulan
ini, utamanya yang bersifat wajib di 11 bulan lainnya. Jangan sampai semua
semangatnya menguap seiring dengan dikumandangkannya takbir Idul Fitri esok
Maghrib. Lebaran yang seharusnya kita mampu menjadi pribadi yang lebih baik,
justru menjadi momen untuk kembali ke kesesatan dan kesalahan yang sama.

Karenanya, tidak salah Rasulullah SAW
bersabda bahwa barangsiapa yang berpuasa selama sebulan penuh di bulan Ramadhan
dan diikuti 6 hari di bulan Syawwal ia sebanding dengan puasa sepanjang tahun.
Hal tersebut mengingat kesulitan dan godaan yang dihadapi lebih berat bila
dibandingkan dengan berpuasa di bulan Ramadhan. Sekali lagi, ini untuk
membuktikan bahwa apakah semua hasil latihan kita di bulan Ramadhan berefek
atau tidak?

Terakhir, esok hari adalah hari
Kemenangan. Pertanyaannya, siapakah yang menang, kita atau justru hawa nafsu
kita kembali mengalahkan kita?

Wallahu a’lam bi’sh Showab

Samarinda, 30 Ramadhan 1440/3 Juni 2019.