Pendahuluan
Tulisan ini merupakan refleksi lanjutan dari tulisan terdahulu berjudul “Covid-19: ‘Dosa Siapa?” dalam kumpulan esai berjudul “Covid-19: Wabah, Fitnah, dan Hikmah” yang terbit sekitar Mei 2020. Tulisan tersebut merupakan refleksi di awal masa pandemi Covid-19 di Indonesia. Dalam tulisan itu berfokus pada pembahasan sikap muslim ketika datangnya pandemi tersebut. Beberapa sibuk mencari ‘penyebab teologis’ yang menyebabkan turunnya ‘azab’ atau ‘ujian’ tersebut, tanpa menghiraukan apa yang ssebenarnya harus dilakukan sebagai muslim dan sebagai manusia.
Dalam tulisan kali ini, yang ditulis sekitar bulan November 2021, lebih dari satu tahun sejak kasus pertama Covid-19. Pada masa ini, Indonesia telah melewati dua gelombang besar penularan Covid-19. Puncak gelombang pertama terjadi pada Januari 2021 dan puncak gelombang kedua terjadi pada Mei – Juli 2021 di mana kasus mingguan naik hingga 7 kali lipat. Pada masa ini juga telah ditemukan vaksin covid-19 dan telah dilakukan vaksinasi. Tercatat pada 31 Oktober 2021, 73,2 juta penduduk telah 2 kali divaksin.
Dalam rentang waktu tersebut, masyarakat kita dengan segala keterbatasannya, tetap melaksanakan ritual keagamaan dan kegiatan ibadah sebagaimana tuntutan agama masing-masing. Meskipun telah muncul banyak kebijakan, khususnya dalam pelaksanaan ibadah dan hari-hari besar keagamaan sekaligus dengan pro dan kontranya, nyatanya semua tetap dapat berjalan.
Di samping itu, ada fenomena yang bisa kita soroti dalam hal ini. Pelaksanaan ritual keagamaan yang dulu erat dengan hingar bingar keduniawian, ketika masa pandemi ini, mau tidak mau, suka tidak suka, harus dilaksanakan dengan berbagai kebijakan dan metode pelaksaan yang berbeda dari biasanya. Tidak sedikit yang menyayangkan, bahkan mengutuk kebijakan tersebut. Namun, selalu ada hikmah dari berbagai peristiwa tersebut. Tulisan pendek ini mencoba untuk melihat secuil pergeseran orientasi pelaksanaan ibadah dari umat beragama di Indonesia selama masa pandemi, yang bergeser dari hingar bingar duniawi ke arah yang lebih substansial.
Pembahasan
Kehidupan umat beragama tidak dapat dipisahkan dari praktik beribadah. Cak Nur dalam “Islam, Doktrin dan Peradaban” bahkan menyebutkan bahwa ibadah merupakan institusi iman. Beliau menambahkan bahwa sistem peribadatan merupakan salah satu kelanjutan logis sistem iman. Iman memberikan dorongan-dorongan batin kepada individu untuk berbuat sesuatu dengan penuh ketulusan dan penghayatan, yang kemudian dilembagakan dalam bentuk ibadah sebagai ekspresi perhambaan kepada Tuhan (Madjid, 60).
Justru akan menjadi rancu bila keimanan tersebut tidak diwujudkan dalam ekspresi lahiriyah tersebut. Cak Nur bahkan mencontohkan, jangankan agama, bahkan kepercayaan lainnya yang tidak berlandasan religiusitas apapun juga akan menghadirkan kegiatan-kegiatan lahiriyah sebagai bentuk penghormatan dan pengagungan dengan apa yang mereka yakini (Madjid, 59).
Seorang fans klub sepakbola akan membangga-banggakan klub yang ia cintai dan pemain yang ia idolakan. Ia akan selalu melakukan ‘ritual’ menonton pertandingan bila klub tersebut bermain. Bahkan, ia akan mengusahakan untuk dapat menonton meskipun terkendala banyak hal, mulai dari channel TV yang berbayar, channel streaming yang diblok oleh internet positif, atau bahkan harus menumpang menonton di warung terdekat. Bilapun berbagai usaha tersebut gagal, ia akan tetap setia memantau skor melalui situs atau meng’qadha’ kegiatan tersebut dengan menonton cuplikan pertandingan keesokan harinya. Mungkin ini salah satu bentuk ritual yang lahir dari kepercayaan dan keyakinan yang non-religius.
Sebab itulah, banyak sosiolog agama yang melekatkan kegiatan beragama sebagai keyakinan dan praktik. Durkheim misalnya, menyebutkan bahwa agama adalah sistem kepercayaan dan praktik ritual keagamaan (belief and practice). Bila salah satu tidak terpenuhi, maka kepercayaan tersebut belum layak disebut sebagai agama. Tentu definisi ini masih menyisakan banyak pertanyaan dan sanggahan dari para ilmuwan untuk mendudukan definisi ‘agama’ yang akan dibahas dalam tulisan lainnya.
Di sisi lain, definisi tersebut juga sejalan dengan definisi iman menurut Ibn Taimiyyah. Menurutnya, iman adalah keyakinan dalam hati yang dilembagakan dalam perkataan (syahadat) di lisan dan perbuatan dengan anggota badan (ibadah). Dari definisi tersebut, bahkan iman dan manifestasinya dalam perkataan dan perbuatan menjadi satu paket yang tidak terpisahkan. Hal tersebut dapat dilihat dari pembagian tauhid menurutnya yang terbagi ke dalam at-tawhid ar-rububiyyah, at-tawhid al-uluhiyyah, dan tawhid al-asma’ wa ash-shifat. Dalam fase tersebut, beragama dalam tataran iman saja tidak cukup tanpa disertai dengan at-tawhid al-uluhiyyah yang merupakan ibadah sebagai bentuk pengagungan hamba pada ke-Maha Besar-an Tuhan.
Selama masa pandemi covid-19 ini, banyak kebijakan pemerintah yang dikeluarkan untuk membatasi ruang gerak, mobilitas, dan kegiatan masyarakat di ruang-ruang publik. Mulai dari kegiatan jual beli, bekerja, belajar, hingga tak terkecuali kegiatan peribadatan. Kebijakan ini tentu mendapatkan banyak pertentangan dari berbagai pihak. Di antara mereka yang menolak memberikan argumen bahwa kegiatan ibadah merupakan salah satu bentuk pendekatan diri kepada Tuhan, yang dengannya, berbagai kesulitan hidup ini akan terlewati, termasuk pandemi ini. Ketika pemerintah justru membatasinya dan bahkan menutup rumah ibadah, hal ini justru merupakan sebuah kemunduran dalam beragama dan membuat pandemi ini tak kunjung berakhir.
Penolakan tersebut tentu sangat beralasan. Sebelum pandemi, kita sudah terbiasa untuk melaksanakan ibadah secara bersama-sama alias berjama’ah, baik sholat berjama’ah, haji, umrah, mengikuti kebaktian, menghadiri misa, menghadiri pengajian, dan sebagainya. Perayaan hari-hari besar juga terasa menggembirakan karena melibatkan banyak individu di dalamnya dan membuat suasana menjadi gegap gempita. Ketika manusia, yang notabene makhluk sosial dibatasi untuk bersosialisasi, khususnya dalam kegiatan keagamaan mereka, maka wajarlah bila mereka menolak, bahkan mengutuk kebijakan tersebut. Tidak sedikit di masa-masa tersebut saya mendengar penolakan tersebut, baik secara maupun tidak langsung. Meskipun kebijakan tersebut didukung oleh institusi keagamaan di Indonesia, nyatanya tidak keseluruhan umat beragama memahami hal tersebut.
Namun, perlu dipahami kembali bahwa pembatasan tersebut bukanlah pembatasan (atau bahkan pelarangan) kebebasan umat beragama untuk beribadah. Negara tetap memberikan kebebasan seluruh umat beragama untuk menjalankan ibadah mereka sesuai dengan keyakinan mereka masing-masing. Namun, yang dibatasi adalah pelaksanaan ibadah yang melibatkan mobilisasi jama’ah dalam jumlah besar yang berpotensi menciptakan kerumunan dan mengabaikan protokol kesehatan sehingga melahirkan kluster penularan baru. Bila terjadi demikian, tracing yang dilakukan tidak terbatas kepada mereka yang terlibat dalam kegiatan tersebut, namun merambah juga pada keluarga dan sanak famili mereka yang berinteraksi dengan mereka.
Bila diperhatikan lebih seksama, selalu ada hikmah dari setiap peristiwa yang terjadi, suka atau tidak. Saya banyak terinspirasi dalam tulisan Habib Husein Ja’far al-Hadar, yang akrab disana Habib Ja’far, dalam bukunya “Tuhan ada di Hatimu” (2020). Dalam prolog buku tersebut, ia menuliskan bahwa rumah-rumah ibadah yang dahulu ramai dan sesak dipenuhi oleh manusia, kini sepi dan lengang. Banyak pihak yang menyayangkan hal tersebut karena berdampak pada kekhusyukan ibadah mereka di rumah-rumah ibadah tersebut. Namun, Habib Ja’far menyebutkan bahwa tidak demikian. Justru penutupan berbagai rumah ibadah tersebut tidak memiliki dampak, karena Tuhan yang kita sembah tidaklah berada di Ka’bah, Vatikan, Tembok Ratapan dan tempat ibadah lainnya, melainkan ada di hati mereka yang beriman.
Pernyataan terakhir tersebut yang akan dikaji lebih dalam tulisan singkat ini. Kegiatan ibadah yang selama ini banyak dilakukan umat beragama di Indonesia secara beramai-ramai seringkali mengalami distraksi atau yang bisa saya sebut sebagai “noise”. Ada banyak hal yang memalingkan mata, pikiran, hati, dan indera kita untuk berfokus pada ibadah yang sedang dilakukan. Badan kita secara lahir ada di tempat tersebut, namun secara jiwa batiniyyah berada di dunia lainnya. Hal-hal yang membuat kita “gagal fokus” inilah yang disebut noise.
Dalam sholat berjama’ah ke masjid misalnya, ada beberapa orang yang mengeluh, merasa jengkel, hingga marah karena hal-hal di sekitar masjid atau jalan menuju masjid. Tidak sedikit mereka yang mengumpat pada mobil yang menyetir dengan sembarangan, anak kecil yang bermain bola di jalan, binatang yang membuang kotoran sembarangan di halaman parkir, kotoran di kaca, suara speaker yang tidak jelas, kaos jama’ah yang beraroma tidak sedap , dan lain hal sebagainya. Sejatinya, ketika kita menuju masjid, kita sudah berjanji untuk bertemu dengan Tuhan kita dalam bentuk sholat, baik secara raga maupun jiwa dan pikiran. Nyatanya, berbagai noise tersebut yang seringkali menang dan mengalihkan kita dari tujuan kita yang sebenarnya.
Bulan Ramadhan tahun 1441 H jatuh bertepatan dengan masa pandemi covid-19. Bulan yang disucikan oleh umat muslim tersebut harus meninggalkan berbagai ‘pernak-pernik’ yang seringkali jauh lebih berkilau dan menarik dibandingkan ibadah yang seharusnya dilakukan pada bulan tersebut. Mulai dari persiapan sembako menuju bulan puasa, persiapan makanan dan minuman menjelang berbuka dan sahur, persiapan kebersihan dan kesiapan masjid untuk menyelenggarakan tarawih, persiapan pakaian sholat untuk sholat tarawih, hingga acara tv yang menemani sahur dan berbuka. Berbagai hal tersebut seringkali menggeser kewajiban berpuasa dengan segala konsekuensi kewajiban di dalamnya.
Hal ini tidak berarti bahwa kita tidak berpuasa. Kita berpuasa secara lahiriyyah. Namun, jiwa dan pikiran kita belum sepenuhnya mendukung dan memaknai puasa kita. Banyak sekali ganjalan-ganjalan lainnya yang membuat puasa kita terasa kurang bermakna. Alih-alih mengisi ibadah puasa kita dengan penuh refleksi dan kesadaran penuh, kita justru lebih sibuk menunggu waktu berbuka dan sahur dengan berbagai bayangan resep makanan dan minuman, atau justru mengagendakan berbagai kegiatan dengan teman, kerabat, dan sanak famili dalam bentuk buka puasa bersama.
Perayaan hari raya Idul Fitri juga tidak terlepas dari ‘noise-noise’ serupa. Kegiatan mudik, membuat kue, mengenakan pakaian baru, berjalan-jalan, dan konsumsi makanan-minuman enak menjadi lebih dominan dibandingkan ibadah yang seharusnya kita lakukan di hari tersebut. Inilah kondisi beragama saat ini. Tulisan ini tidak sedang menghakimi bahwa selain mereka ibadahnya lebih baik atau bahkan lebih diterima. Namun, lebih kepada mendudukkan kembali makna ibadah.
Banyaknya ibadah yang telah kita lakukan tidak menjamin bahwa ibadah tersebut sudah sesuai sebagaimana seharusnya. KH. Athian Ali misalnya, dalam ceramahnya di Unpad Mapag Ramadhan tahun 2015 – yang dapat dilihat di website unpad – menyebutkan bahwa ibadah sejatinya memiliki dua dimensi, yaitu dimensi syariat dan hakikat. Dimensi syariat adalah tata cara pelaksanaan ibadah tersebut yang dapat diindera adapun dimensi hakikat adalah tujuan utama dari seluruh ibadah tersebut, yaitu mencapai keridhoan Allah.
Di sini, William James, dalam bukunya “The Varieties of Religious Experience” (1902) menyebutkan bahwa beragama adalah pengalaman dengan Yang Ilahi di ruang sunyi. Dari penjelasannya, dapat dipahami bahwa beragama merupakan wujud hubungan personal seorang hamba dengan Tuhannya. Hubungan ini sangat intim dan hanya melibatkan individu tersebut dengan Tuhannya. Di sinilah tujuan beribadah yang sesungguhnya, yaitu ketika seorang hamba, dengan penuh kesadaran dan kerendahan hati, benar-benar menghambakan diri kepada Tuhan, yang secara yakin membesarkan dan mengagungkan Tuhan untuk mencapai keridhoan Allah. Inilah esensi dari ibadah yang dimaksud.
Namun dalam berbagai fenomena di atas, seringkali esensi dan substansi ibadah terhalangi oleh kulit-kulit luarnya. Alih-alih mereka mendapatkan apa yang mereka tuju dari ibadah tersebut, dikarenakan orientasi yang ‘sedikit’ bergeser, justru mereka luput dari substansi ibadah tersebut. Celakanya, Allah telah mengingatkan berkali-kali golongan yang seperti ini sebagaimana disebutkan di dalam al-Baqarah: 264, al-Kahf: 104, dan al-Ma’un 4-6. Orang yang celaka bukan saja mereka yang tidak beribadah, namun mereka yang menjalankan ibadah masih berpotensi celaka karena kehilangan orientasi dari ibadahnya dan terpalingkan oleh berbagai hal-hal yang ‘dianggap’ menjadi pelengkap ibadah tersebut sehingga melupakan hal yang paling utama.
Meminjam klasifikasi maqasid asy-syari’ah atau tujuan-tujuan dari syariah menurut Imam al-Ghazali (wafat 1111 M) yang membagi kebutuhan utama manusia ke dalam 3 bagian, yaitu dharuriyat (primer), hajiyat (sekunder), dan tahsiniyat (tersier). Pelaksanaan ibadah juga memiliki 3 dimensi tersebut. Berbagai kasus di atas dan kasus-kasus lainnya menunjukkan bahwa seringkali apa yang seharusnya berada di tataran dharuriyat tertutupi atau tergeser dengan hajiyat bahkan tahsiniyat. Kita seringkali lebih sibuk untuk memikirkan berbuka dengan apa dibandingkan mengisi puasa kita dengan hal bermanfaat apa misalnya.
Dengan adanya berbagai kebijakan tersebut, nampaknya orientasi ibadah kita dapat mengalami pergeseran. Dari yang tadinya rentan dengan berbagai pernak-pernik keduniawian, kini kita dapat berfokus pada substansinya dikarenakan kondisi yang serba terbatas secara kebijakan pemerintah. Alih-alih memikirkan akan berbuka dengan makanan dan minuman macam apa, kita bisa berfokus pada mengisi puasa kita dengan mengaji kitab apa melalui berbagai virtual room yang banyak tersaji. Kita bisa berpikir seperti itu karena tidak ada warung yang menjajakan makanan tersebut dikarenakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) yang berlaku.
Berbagai noise tersebut dapat secara tidak langsung berkurang dengan berkurangnya intensitas pertemuan kita dengan individu lainnya. Kita dapat lebih berfokus mendengarkan khutbah keagamaan daripada menyaksikan orang-orang atau pemandangan lain di sekitar tempat ibadah yang memalingkan fokus kita. Dalam perayaan hari-hari besar keagamaan, kita juga bisa berfokus memaknai hari tersebut, substansi dari perayaan tersebut dan menginternalisasikannya ke dalam diri kita. Inilah bentuk ibadah sebagai pelembagaan iman kita sebagaimana didefinisikan di atas.
Dengan adanya pandemi tersebut, kita dapat sedikit teralihkan dari berbagai urusan duniawi yang menyertai peribadatan tersebut. Hari raya idul fitri, kita tidak disibukkan lagi dengan agenda mudik dan memasak makanan karena mobilisasi masyarakat dilarang begitupula saling berkunjung saat lebaran. Meskipun memang banyak (bahkan banyak sekali) mereka yang berkeberatan dan menganggapnya sebagai sebuah hal yang tidak normal dan tidak biasa. Namun, perlahan, kitab isa berfokus pada membuka lembaran baru hidup kita dan memaafkan semua yang telah berbuat salah kepada kita, meskipun mereka tidak memintanya. Begitupula dengan perayaan hari besar agama lainnya. Mereka lebih bisa fokus memaknai hari tersebut dan menjadi satu titik yang mendekatkan mereka kepada penghayatan iman yang lebih sempurna.
Inilah yang disebut sebagai jalan sunyi menuju Tuhan. Kehidupan manusia di era ini sudah penuh dengan berbagai kebisingan urusan keduniawian. Bahkan, dalam langkahnya menuju rumah ibadah dan beribadah secara berjama’ah, banyak hal-hal bising yang membuatnya keintiman kita bersama Sang Pencipta yang layak disembah berkurang sedikit demi sedikit. Sebagaimana Nabi Muhammad melakukan ‘uzlah dalam memfokuskan diri pada keagungan Tuhan, pandemi ini juga memaksa kita untuk ‘uzlah dalam melakukan ibadah secara lebih intim dan penuh kesunyian di tempat tinggal masing-masing. Inilah yang disebut oleh Gus Ulil Abshar Abdalla dalam buku “Sains Religius, Agama Saintifik” (2020) bahwa pengalaman beragama di ruang sunyi yang jauh dari hiruk pikuk “parade sosial” dapat meningkatan kualitas beragama yang jauh lebih mendalam dan memiliki intensitas keimanan yang tinggi.
Penutup
Kehidupan beragama tentu tidak dapat dipisahkan dari praktik dan ritual keagamaan. Bahkan, ritual inilah yang memiliki implikasi dalam penguatan iman dan sebagai perwujudan iman dalam keseharian hidup individu. Namun, seringkali ibadah yang dilakukan masih terkungkung dengan berbagai gangguan lain yang memalingkan jiwa dan pikiran kita kepada selain-Nya ketika sedang beribadah. Hasilnya, alih-alih menginternalisasi nilai-nilai ketuhanan dan agama dalam hidup kita, justru ibadah kita seperti tidak berarti apa-apa bagi iman dan perilaku sehari-hari kita.
Karenanya, dengan adanya pandemi ini, dengan berbagai pengurangan dan pembatasan kegiatan masyarakat, diharapkan kita dapat berfokus pada substansi ibadah dan menepikan hal-hal lain yang memalingkan orientasi beribadah kita. Mengutip Habib Ja’far yang menyebutkan bahwa hikmah dari adanya pandemi ini dan segala macam pembatasan di dalamnya adalah bahwa Tuhan merindukan keintiman dengan hamba-Nya yang sudah sekian lama teralihkan dengan hal-hal duniawi lainnya.
Pandemi cepat atau lambat akan berakhir. Namun, apakah orientasi ibadah kita juga akan kembali seperti semula atau kembali ke jalan yang sunyi dan penuh keintiman dengan-Nya?