Studi Islam di berbagai perguruan tinggi Islam di Indonesia menunjukkan kemajuan dan perkembangan dari segi kuantitasnya. Dalam satu dekade terakhir, telah berdiri banyak program doktoral studi Islam di berbagai perguruan tinggi keagamaan Islam (PTKI). Pengembangan program doktoral memiliki irisan yang dalam dengan pengembangan keilmuan tersebut karena mensyaratkan contribution to knowledge, yang secara tidak langsung membuat keilmuan tersebut tetap “hidup” dan berkembang. Hal tersebut yang disebut sebagai salah satu bentuk progress of science[1].
Perkembangan studi Islam tersebut ditandai dengan munculnya lebih dari 2000 jurnal dari seluruh PTKI dan 7 di antaranya telah terindeks Scopus. Selain itu, sejak 2017, artikel hasil penelitian para akademisi di wilayah studi Islam yang terpublikasi di jurnal bereputasi internasional meningkat drastis. Dari awalnya tercatat sebanyak 530 artikel pada 2017 meningkat menjadi 1.084 di tahun 2018 dan 1.453 artikel di tahun 2019. Pada 2020, jumlah artikel yang terpublikasi juga bertambah menjadi sebanyak 1.687 artikel[2].
Namun, peningkatan kuantitas di atas tentu tidak dapat diotomasikan peningkatan kualitas studi Islam dan perkembangan wacana pemikiran Islam di Indonesia. Ulil Abshar Abdalla, dalam suatu diskusi menyebutkan bahwa saat ini, banyak tulisan yang diproduksi dan dihasilkan, tapi tidak nampak banyak pikiran di tulisan-tulisan tersebut. Ia membandingkan gairah intelektual dari pemikir Islam Indonesia hari ini masih tertinggal dari generasi tahun 1970-an yang diprakarsai Nurcholish Madjid (Cak Nur), Djohan Effendi, dan kawan-kawan. Menurutnya, berbagai mahasiswa PTKI hari ini tidak memiliki imajinasi untuk menjadi ilmuwan muslim seperti generasi Cak Nur, melainkan terpaku pada impian meraih gelar profesor akademik. Dalam hal tersebut, Ulil, membedakan antara muslim scholar yang hanya berkutat pada masalah akademis dan muslim thinker yang memberikan solusi atas permasalahan umat.[3]
Kelesuan tersebut juga disebutkan oleh Miswari dalam suatu forum diskusi Kader Pemikir Islam Indonesia (KPII)[4]. Dia melihat bahwa tren pemikiran Islam dan Studi Islam di Indonesia mengalami kemunduran. Wacana integrasi keilmuan yang sempat menghangat di berbagai PTKI dianggap sebagai salah satu bentuk pemajuan pemikiran Islam ternyata tidak bertahan lama. Menurutnya, wacana itu hanya berhenti sebagai wacana kepentingan perguruan tinggi. Dalam bukunya, Teologi Terakhir (2021), ia menyebutkan bahwa wacana teologi dan pemikiran Islam hari ini menghadapi situasi kontradiktif dan mengalami keterkekangan, sehingga aksiologi keilmuannya terlepas dari persoalan dan permasalahan yang dihadapi umat. Sebagaimana menurut definisi Ulil, muslim thinker adalah para pemikir muslim yang memberikan solusi dan jawaban atas permasalahan yang dihadapi umat. Karenanya, perlu gerakan pembaharuan untuk menyegarkan studi Islam dalam rangka memperkaya wacana pemikiran Islam.
Pembicaraan seputar pembaharuan pemikiran Islam secara global akan merujuk pada gerakan reformasi Islam di akhir abad 19. Kemunduran secara global umat muslim di dunia menyentak beberapa pemikir muslim untuk melakukan apa yang disebut sebagai reformasi. Gerakan yang digagas oleh Jamaluddin al-Afghani (1838-1897) dan Muhammad Abduh (1849-1905) di dunia Arab dan Sayyid Ahmad Khan (1817-1898) di Asia Selatan tersebut mencoba mendialogkan antara pengetahuan tentang keislaman dengan ilmu pengetahuan modern yang berasal dari Barat. Tujuannya adalah mengejar ketertinggalan perkembangan akademik saintifik yang pada waktu itu dikuasai oleh para intelektual dari Eropa.
Reformasi tersebut menghadirkan suatu harapan akan kembalinya masa kejayaan Islam (semangat revivalisme), namun di sisi lain, muncul ketakutan bahwa para pelajar muslim akan kehilangan identitas keislamannya dan menjadi Barat sepenuhnya[5]. Dalam perkembangannya, ketakutan tersebut melahirkan suatu ciri pandang yang disebut sebagai intellectual dualism[6]. Ciri khas pola pikir ini adalah membedakan antara konten studi Islam dan metode dari tradisi Barat secara tajam. Wahyu yang terkandung di dalam al-Qur’an dan nilai-nilai yang diwariskan oleh Muhammad SAW dipahami sebagai kebenaran Islam (Islamic truths), sedangkan filsafat Barat dan ilmu-ilmu sains dipahami sebagai tradisi akademis Barat (Western academic). Seringkali, pola pikir ini melahirkan klaim-klaim kebenaran Islam yang dijustifikasi oleh metode penelitian keilmuan Barat dan juga ketakutan untuk mengadopsi metode keilmuan Barat[7].
Pola pikir tersebut berkembang cukup luas di berbagai dunia Islam di tengah kungkungan gerakan kolonial. Beberapa intelektual muslim memberikan solusi berupa penggabungan (fusion) antara tradisi keilmuan Islam dan tradisi intelektual Barat. Golongan ini disebut sebagai fusionis. Mereka terdiri dari golongan muslim yang terdidik dengan cara pandang intelektual Barat yang menolak pandang dualisme pengetahuan dan memperjuangkan konsepsi kebenaran yang lebih terpadu dan universal. Mereka berusaha menyeimbangkan realitas sosial dan klaim Islam atas kebenaran yang universal. Dalam tulisan-tulisannya, mereka mencoba mengintegrasikan metode penelitian dalam tradisi Barat terkait reformasi Islam dan di sisi lain, sebagai seorang muslim, mereka menanamkan prinsip-prinsip Islam dan komitmen iman pribadi dalam penelitian akademis mereka[8].
Pola pikir inilah yang ingin dibangun dalam pengajaran studi Islam di dunia muslim, tak terkecuali di Indonesia. Cak Nur, pada 3 Januari 1970 di Taman Ismail Marzuki menggaungkan keharusan pembaruan pemikiran Islam. Ia menilai bahwa intelektual muslim di Indonesia saat tersebut telah mengalami kejumudan dalam pengembangan pemikiran Islam. Mereka juga kehilangan psychological striking force dalam perjuangannya. Untuk itu, salah satu tawaran Cak Nur adalah sekularisasi sebagai usaha untuk membedakan nilai-nilai di dalam Islam. Salah satu tantangan kala itu, umat Islam di Indonesia tidak mampu membedakan mana nilai yang bersifat temporal dan mana yang bersifat transcendental, mana yang merupakan ajaran agama dan mana yang merupakan tradisi, dan mana yang bersifat substantif dan mana yang bersifat kontekstual[9]. Kegagalan memisahkan hal-hal tersebut, menurutnya menghilangkan kreativitas umat muslim dalam merespon tantangan zaman[10] dan problem yang dihadapi umat. Dalam bahasa lain, seolah Tuhan tidak hadir dalam problematika sosial muslim hari ini atau agama (Islam) tidak muncul dalam kesadaran kritis terhadap situasi aktual[11].
Hal tersebut sejalan dengan kritik terhadap kemunduran umat Islam yang disebutkan oleh Syakib Arslan. Ia menyebutkan bahwa salah satu penyebab kemunduran umat muslim, khususnya secara intelektual adalah dikarenakan kebodohan (al-jahl) dan ilmu yang kurang (al-’ilm al-naqish). Penyebab yang kedua, menurutnya, jauh lebih berbahaya karena menganggap bahwa ilmu yang dimiliki telah sempurna dan bersifat final, khususnya ilmu-ilmu tentang keislaman. Pemahaman macam inilah yang melahirkan cara pandang eksklusif dan berujung pada klaim kebenaran tunggal dalam ilmu-ilmu keislaman[12].
Sebagaimana prediksi Cak Nur, setiap gagasan reformatif pasti akan menghadirkan reaksi terhadapnya. Hingga hari ini, gagasan yang dikemukakan oleh Cak Nur tersebut dan juga para fusionis di atas menghadapi banyak tantangan dari intelektual muslim sendiri. Mereka berargumen bahwa Islam dan Ilmu Keislaman bukanlah dua hal yang berbeda. Mereka merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan keduanya memiliki sifat yang sama, yaitu absolut. Mereka beranggapan bahwa cara pandang seperti ini berimplikasi pada lahirnya desakralisasi al-Qur’an sebagai firman Allah sehingga dapat ditafsirkan dengan berbagai metodologi dan framework yang berbeda, yang bertentangan dengan metode tafsir tradisional. Akibatnya, teks dalam al-Qur’an akan mengalami desakralisasi dan dekonstruksi makna[13].
Hal inilah yang kemudian hari juga melahirkan pernyataan bahwa pengkajian Islam dengan metodologi Barat bukanlah kemajuan, melainkan sebuah kemunduran. Menurutnya, berbagai pendekatan yang dianggap baru dalam pengkajian Islam hanya sekedar mengulang-ulang apa yang sudah selesai dibahas oleh para ulama terdahulu dan sekedar bongkar-pasang ide yang sudah final[14]. Selain itu, berbagai pendekatan studi Islam dengan metodologi Barat dianggap sebagai suatu usaha yang tidak sopan dalam memperlakukan firman Allah SWT dan menistakan kaidah-kaidah keilmuan ulama terdahulu. Berbagai usaha “memajukan” Islam sejatinya adalah bentuk penistaan terhadap kesempurnaan ajaran Islam[15].
Perbincangan seputar apakah studi Islam tersebut merupakan sebuah kemajuan atau kemunduran masih mengalami banyak dialektika. Karenanya, dalam pendidikan program doktoral Studi Islam di Perguruan Tinggi Islam di Indonesia, perlu dibekali dengan berbagai cara pandang dan kerangka berpikir yang menjadi basis dalam pengembangan ilmu-ilmu keislaman tersebut. Di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta misalnya, salah satu mata kuliah wajib adalah Filsafat Ilmu-Ilmu Keislaman yang salah satu tujuannya adalah membuka cakrawala (opening the horizon) pemikiran mahasiswa di dalamnya untuk dapat memahami landasan-landasan keilmuan Islam dan mengaplikasikannya dalam cara berpikir yang out of the box dan kontekstual. Di dalamnya, para mahasiswa dituntut tidak berhenti pada al-ahkam al-Syar’iyyah, melainkan juga berfokus pada al-qiyam al-asasiyyah.
Bagian berikutnya akan mencoba menjabarkan secara singkat tentang urgensi dan kontribusi mata kuliah tersebut. Berbagai bekal dan cara pandang tersebut diharapkan dalam dimanfaatkan dalam menganalisis problem yang dihadapi oleh umat muslim hari ini di berbagai bidang dan melahirkan solusi yang dibutuhkan umat. Cara berpikir inilah yang disebut sebagai muslim thinker, yaitu pemikir muslim yang berkontribusi pada pemecahan masalah umat, bukan sekedar muslim scholar yang berhenti di kegiatan akademis semata.
Pembaharuan Studi Islam
Isu tentang kemunduran Islam dan kemajuan Barat telah muncul pasca masa renaissance di Eropa. Seiring dengan gerakan kolonialisme dan imperialisme negara-negara Eropa ke seluruh penjuru dunia, dunia Islam juga diliputi dengan rasa kekalahan dan kemunduran. Hal tersebut yang mendorong gerakan-gerakan yang disebut sebagai gerakan modernisasi atau reformis sebagai suatu usaha untuk mengimbangi kemajuan peradaban Barat dan menempatkan Islam kembali ke puncak kejayaannya.
Pada akhir abad 19, tepatnya sejak kisaran tahun 1850-1918, muncul gerakan pengembangan pemikiran Arab-Islam modern. Corak yang muncul di fase ini adalah revivalisme Islam dan reformisme Islam. Gerakan pertama tersebut direpresentasikan oleh Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1792) di Najd, yang kemudian dikenal dengan gerakan Wahabi. Gerakan ini merupakan suatu usaha untuk merespon kemunduran internal di tubuh masyarakat Muslim. Di sisi lain, muncul gerakan reformisme Islam dengan tokohnya seperti Rifa’ah Badawi Rafi’ al-Tahtawi (1801-1873), Jamal al-Din al-Afghani (1838-1897), Muhammad Abduh (1849-1905), Rasyid Ridha (1865-1935), dan Qasim Amin (1863-1908)[16]. Pada masa ini, isu yang diangkat oleh para intelektual Arab-Islam modern adalah mencari akar kemunduran bangsa Timur, kemajuan Eropa, persoalan identitas dan konsep ummah, serta mengadopsi temuan-temuan Barat yang dapat diaplikasikan oleh umat Islam[17]. Masa ini disebut sebagai masa nahdah (kebangkitan) atau The Arab Rennaissance[18].
Kecenderungan tersebut dilanjutkan pada fase selanjutnya. Berbagai modernisasi pemikiran Arab hadir dalam bentuk gerakan nasionalisme Arab, Liberalisme Arab, dan Islamisme (Fundamentalisme Islam)[19]. Namun, keadaan berubah di tahun 1967. Pasca kekalahan dalam Perang Arab-Israel (Perang Enam Hari/The Six-Day War), bangsa Arab kembali merasa terpukul dan merasa ada yang tidak beres dengan arah modernisasi pemikiran yang telah digagas. Kekalahan bangsa Arab oleh sekelompok Zionis Israel membuktikan bahwa ideologi Pan-Arabisme yang digagas oleh Nasser telah gagal. Hal tersebut menunjukkan bahwa kekalahan perang ini tidak hanya kekalahan teknologi dan strategi, melainkan kekalahan moral[20]. Kekalahan bangsa Arab tersebut disebut Difitisme 1967[21].
Pasca Difitisme 1967, terjadi perubahan corak pembaharuan pemikiran Islam yang menjadi identic dengan gerakan self-criticism. Abu Rabi’[22] membagi gerakan self-criticism tersebut ke dalam empat klasifikasi utama. Keempat klasifikasi tersebut adalah gerakan Marxist criticism (gerakan kritisme radikal), liberal criticism, fundamentalist criticism, dan nationalist criticism. Tema-tema yang dibicarakan dalam era tersebut berkisar seputar merumuskan metodologi studi Islam dengan memanfaatkan teori Barat, pencarian model masyarakat muslim yang ideal, peranan model bagi pengembangan sosio-ekonomi, serta pemecahan masalah kesenjangan antar kelas masyarakat[23]. Secara garis besar, fokus pembicaraan di era ini adalah bagaimana islam diposisikan dalam ranah kehidupan sosial-politik di era modern[24].
Mulai saat tersebut, persentuhan ilmu-ilmu Islam dengan ilmu-ilmu yang lahir di Barat banyak terjadi. Sedikitnya terdapat 3 kelompok pandangan muslim mengenai Barat, khususnya di ranah pengembangan ilmu pengetahun. Kelompok pertama adalah kalangan muslim awam yang memiliki persepsi dominan bahwa Barat adalah simbol kemajuan. Kelompok kedua adalah kalangan muslim terpelajar yang menganggap Barat sebagai simbol kecanggihan metodologi penelitian dan pengkajian. Kelompok ini menerapkan kajian filsafat dan ilmu humaniora dari Barat dan menerapkannya dalam studi Islam. Kelompok ini sering disebut sebagai kelompok modernis-sekuler. Kelompok terakhir adalah kelompok yang memandang semua yang berasal dari Barat adalah berbahaya dan harus ditolak. Kelompok ini sering dilabeli sebagai kelompok fundamentalis[25].
Dari ketiga kelompok tersebut, kelompok pertama dan kedua merupakan kelompok yang menerima berbagai ide, ilmu dan kemajuan pengetahuan dalam definisi Barat. Adapun kelompok ketiga, mereka dianggap tidak mendukung kebudayaan dan berbagai hal yang datang dari Barat. Mereka beranggapan bahwa semua kemajuan yang ada di dalam budaya Barat telah ada dan diajarkan di dalam agama Islam, berabad-abad sebelumnya. Meniru budaya lainnya merupakan bentuk kelemahan tradisi Islam di hadapan tradisi Barat dan mengakui dominasi tradisi Barat[26]. Dalam konsep keilmuan, konsep-konsep asing yang diadopsi dalam suatu kebudayaan, lambat laun akan menguasai kebudayaan tersebut dan menggeser nilai-nilai asli di dalamnya. Karenanya, perlu dilakukan perubahan-perubahan pada aspek-aspek konseptual dari keilmuan tersebut.
Proses tersebut menjadi suatu keniscayaan untuk menyelaraskan konsep-konsep dari Barat tersebut sesuai dengan nilai dan ajaran Islam. Menurut Alparslan Acikgence, Islam merupakan bangunan hidup konsep-konsep yang mewujudkan sebuah kesatuan yang saling terkait. Tradisi keilmuan dalam Islam lahir dari framework khusus, yaitu kerangka konsep keilmuan Islam (Islamic scientific conceptual scheme)[27] dan lahir dari cara pandang Islam (Islamic worldview) dan menjadikan wahyu sebagai kerangka metafisis untuk menuntun pada kebenaran[28]. Karenanya, ilmu dan metodologi yang berkembang di Barat tidak harus diterapkan di dunia muslim dan keilmuan Islam. Menurut al-Attas, hal tersebut dapat berpotensi sebagai suatu cara dalam menyebarluaskan pola pikir dan pandangan Barat karena ilmu bukanlah entitas yang bebas nilai, melainkan sarat nilai[29].
Penerapan ilmu dan metodologi yang berasal dari Barat dikhawatirkan akan berefek pada kerancuan berpikir cendekiawan muslim. Ilmuwan Barat berangkat dari landasan epistemologi sekuler dan melepaskan wahyu Tuhan. Mereka memaksakan wahyu Tuhan akan sesuai dengan keinginan nafsu mereka. Hal ini yang kemudian melahirkan suatu relativitas nilai yang tidak berujung karena seluruh kebenaran bersifat relatif dan nisbi. Bila diterapkan di dalam keilmuan Islam, maka pola pikir tersebut akan melahirkan sikap kritis, skeptik, dan bahkan tidak mempercayai paham atau kepercayaan agama.[30] Karenanya, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa rasionalisasi ilmu agama ala Barat sejatinya merupakan langkah menuju sekularisme[31].
Keilmiahan Islam tidak dapat dibandingkan dengan keilmiahan ala metodologi Barat. Dalam proses pembentukan dan pengembangan worldview sebagai basis keilmuan, tradisi Barat berdasarkan pada diseminasi ilmu pengetahuan yang terjadi melalui cara ilmiah dalam kerangka konsep keilmuan tertentu. Hal ini disebut sebagai natural worldview. Adapun worldview dalam tradisi Islam tidak bermula dari mekanisme canggih yang melahirkan kesimpulan ilmiah, melainkan melalui wahyu dan dengan perantara Nabi. Di sini, wahyu menempati posisi sentral dalam pembentukan worldview dan penyebarannya. Karenanya, worldview yang lahir dari proses tersebut disebut sebagai transparent worldview atau quasi-scientific worldview.[32]
Salah satu ciri mendasar dalam worldview Islam dan perbedaannya dengan worldview Barat adalah prinsip tawhidi. Prinsip ini menggambarkan kesatuan antara realitas dan kebenaran. Pandangan hidup Islam bersumber dari wahyu yang didukung oleh akal dan intuisi. Seluruh substansi agama telah dijelaskan secara komprehensif di dalam wayu dan dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW. Karenanya, Islam telah lengkap, sempurna, dan autentik sehingga tidak membutuhkan perubahan, progresivitas, dan perkembangan[33]. Prinsip tawhidi ini meneguhkan Islam sebagai agama sekaligus peradaban[34]. Sifat inilah yang menafikan perlu dikotomi seperti yang muncul di tradisi Barat, yaitu dikotomi antara normativitas dan historisitas serta antara objektif dan subjektif.
Beberapa intelektual muslim merasa bahwa penerapan metodologi Barat tersebut akan melahirkan kerancuan yang cukup serius dalam ilmu-ilmu keagamaan seperti Ushuluddin, tafsir, fiqh, atau ushul fiqh. Ilmu pengetahuan tentang Allah bersifat mutlak dan berdasarkan pada sumber yang mutlak kebenarannya, yaitu wahyu. Ilmu seputar hukum-hukum Allah tentang hal-hal yang diharamkan juga bersifat mutlak dan tidak akan berubah sampai akhir zaman[35]. Berbagai gerakan progresif dalam syariah (evolving shariah) menempatkan nilai-nilai humanisme di atas nilai-nilai agama. Karenanya, ajaran agama harus diubah agar selaras dengan nilai kemanusiaan berdasarkan nilai-nilai dari tradisi Barat. Maka yang demikian itu tidak layak disebut sebagai sebuah kemajuan dan tajdid dalam pemikiran Islam, melainkan westernisasi atau taghrib[36].
Syakib Arslan menyebutkan bahwa dalam menghadapi arus deras modernisasi dari Barat dan mengobati kemunduran umat Islam, perlu mengambil sikap moderat yaitu sikap di antara penolakan total pada tradisi Barat (al-jamid) dan penerimaan total pada tradisi Barat (al-jahid)[37]. Sikap ini merupakan sikap yang paling tepat dalam merespon tantangan zaman dan juga menyelaraskannya sesuai dengan nilai-nilai Islam. Kedua kutub ekstrem tersebut merupakan pola pikir yang justru akan menghancurkan umat muslim, baik secara identitas maupun secara struktural. Adopsi tradisi Barat secara membabi buta merupakan suatu langkah menuju kehancuran identitas dan kerusakan worldview Islam. Di sisi lain, penolakan total juga akan membawa kepada kejumudan ilmu pengetahuan dan ketertinggalan umat muslim dari peradaban lainnya[38].
Menurutnya, umat Islam mau tidak mau harus berpikiran terbuka dan menerima perubahan[39]. Lawan dari keterbukaan adalah ketertutupan atau eksklusivitas. Cara pandang ini seringkali didominasi dengan klaim kebenaran tunggal dan menutup dari kebenaran-kebenaran lainnya. Inilah yang dianggap oleh Syakib Arslan sebagai suatu sebab kemunduran umat Islam dan ketertinggalan intelektual muslim. Sikap jumud dan hilangnya semangat pengembangan intelektual inilah yang menjadi pekerjaan rumah umat Islam dalam merespon kemajuan peradaban Barat[40].
Di sisi lain, studi tentang Islam juga telah banyak dilakukan oleh para orientalis. Kajian para orientalis tersebut, selain hadir dari tradisi worldview Barat, juga seringkali diwarnai bias kristenisasi dan kolonialisme[41]. Pendekatan yang sering digunakan para orientalis tersebut terbatas pada kajian etnografis, filologis, dan antropologis yang terbatas pada logocentrism (teologi, sejarah agama, dan filsafat agama). Karenanya, wajah Islam yang ditampilkan bersifat termarjinalkan, partikular, dan reduktif[42]. Kajian tersebut yang pada akhirnya bersifat parsial dan tidak utuh dalam menggambarkan Islam dan seringkali terdistraksi oleh realitas kehidupan muslim yang tidak mencerminkan nilai Islam (al-Islam mahjubun bi al-muslimin).
Dalam hal ini, perkembangan intelektual Islam berada di dua kutub ekstrem, yaitu penerimaan total dan penolakan total atas tradisi keilmuan Barat (baina al-jamidin wa al-jahidin). Kajian Islam yang lahir juga berada di antara universalisme dan imperalisme Barat yang cenderung memarjinalkan semua tradisi Islam dan arah pengembangan pemikiran Islam oleh para intelektual muslim yang mengalami ortodoksi dan eksklusivisme[43]. Hal inilah yang kemudian mendorong para intelektual muslim untuk mencari jalan tengahnya dan mengusahakan suatu terobosan baru dalam memperkaya khazanah intelektual Islam. Arkoun, menyatakan bahwa dalam menghadapi dua problem besar di atas ilmu sosial-humaniora yang lahir di Barat dan ilmu-ilmu agama Islam harus saling mengisi satu sama lain sehingga menghadirkan solusi bagi tantangan zaman yang dihadapi umat Islam.[44]
Keterbukaan dan sikap akomodatif merupakan pola pikir yang mutlak diperlukan dalam menjembatani dua sikap ekstrem dalam hubungan ilmu Islam dan ilmu pengetahuan dari tradisi Barat. Abdullah[45] menyebutkan bahwa kedua entitas tersebut seringkali berjalan sendiri-sendiri, tidak saling mengenal, dan tidak saling mengambil manfaat. Padahal, hubungan yang terjalin seharusnya bersifat dialogis dan negosiatif.
Sebagaimana disebutkan oleh Muhammad Iqbal, responsi dan partisipasi umat Islam dalam kemodernan harus berasal dari dalam dinamika Islam sendiri Nurcholish Madjid menjelaskan bahwa frasa “berasal dari dalam dinamika Islam sendiri” tidak meniscayakan ketertutupan berpikir dan dogmatisme, melainkan keharusan umat muslim dalam melihat hubungan organik nilai Islam dalam kemodernan, seperti keterbukaan dan kebebasan berpikir. Kemalasan dalam mencari dan membaca hubungan organik ini yang membuat terjadinya disorientasi dalam tubuh masyarakat muslim dalam menyikapi perubahan zaman dan kemodernan[46].
Studi Islam dengan metode penelitian tertentu bukanlah hal baru dalam tradisi intelektual Islam. Berbagai ulama terdahulu seperti Imam Syafi’i, Ibn Taymiyyah, Imam Ghazali, dan Ibn Khaldun juga menggunakan metode tertentu untuk memperoleh kebenaran Islam. Namun, terma penelitian agama atau pengkajian Islam terjebak pada dualisme, yaitu penelitian untuk mendapatkan kebenaran agama dan sebagai proses menemukan dan memahami “kebenaran” dari realitas empiris. Sebagaimana kajian para ulama tersebut, terdapat dua corak yang cukup berbeda. Imam Syafi’i, Ibn Taymiyyah, dan Imam Ghazali berfokus pada cara menemukan hadits yang “benar”, fiqh yang “benar”, Ushul fiqh yang “benar”, dan sikap beragama yang “benar”. Adapun Ibn Khaldun, mencoba memahami realitas yang “sebenarnya”.
Tujuan kajian pertama adalah mencari pesan dan doktrin yang hakiki. Adapun tujuan kajian kedua adalah keinginan untuk mengungkapkan kenyataan sosial dan sejarah, tanpa didorong rasa keimanan dan pengakuan tentang keilahian. Karenanya, dalam kajian yang dilakukan Ibn Khaldun, ia menyadari adanya jarak metodologis antara peneliti dan masyarakat yang diteliti tersebut, meskipun ia sendiri merupakan bagian dari masyarakat dan nilai sosial yang diteliti tersebut[47]. Kesadaran akan adanya jarak inilah yang menjadi suatu keharusan metodologis. “Jarak” ini yang menentukan sesuatu yang menjadi subject matter atau sasaranyang diteliti. Dalam hal ini, studi Islam berarti menjadikan “Islam” sebagai sasaran penelitian dan secara metodologis, agama dijadikan sebagai suatu fenomena yang riil, yaitu sebagai doktrin, dinamika masyarakat, dan sikap masyarakat terhadap doktrin tersebut[48].
Studi Islam yang dimaksud di dalam berbagai perguruan tinggi Islam di Indonesia adalah pengkajian ilmu-ilmu keislaman yang tidak terbatas pada aspek normatif dan dogmatik, melainkan juga berkaitan dengan aspek sosiologis. Ilmu-ilmu Islam meliputi aspek kepercayaan normatif-dogmatik yang bersumber dari wahyu dan aspek perilaku manusia yang lahir dari dorongan kepercayaan itu menjadi kenyataan-kenyataan empiris. Mattulada menyebut yang pertama sebagai ilmu keimanan dan yang kedua sebagai ilmu akaliah. Ilmu-ilmu akaliah tumbuh dan berkembang dalam konteks pertumbuhan dan perkembangan suatu kebudayaan dan lingkungan. Adapun ilmu-ilmu keimanan memiliki materi yang sama, meskipun penghayatan dan pengamalannya dapat berbeda, namun ia adalah tetap dan tidak dipengaruhi ruang dan waktu[49].
Ouput dari kedua kajian tersebut juga berbeda. Kajian yang bersifat normatif-dogmatik bersumber dari wahyu dan iman sehingga tidak dapat dijangkau dengan metode ilmiah yang mengedepankan pemikiran logis, bukti empiris, dan obyektivitas. Kebenaran kajian ini bersifat kebenaran mutlak. Adapun kebenaran yang didapatkan dari kegiatan ilmiah terhadap fenomena sosial hanyalah kebenaran yang bersifat nisbi, berdasarkan pada logika dan ketetapan ilmu pengetahuan. Pada bagian inilah metode pengkajian menggunakan metode ilmu sosial yang telah berkembang di tradisi Barat[50].
Sikap dikotomis antara Islam sebagai ajaran dan Islam sebagai sebuah studi merupakan suatu pola pikir yang harus diletakkan di awal pembicaraan seputar studi Islam. Pemikiran Islam seringkali diwarnai anggapan bahwa Islam merupakan ajaran agama yang sempurna dan holistik yang meliputi urusan religius, profan, dan politik (diin, dunya, wa dawlah)[51]. Studi kritis terhadap ilmu-ilmu agama Islam secara tidak langsung akan menggoyang pilar-pilar tersebut dan merupakan suatu bentuk upaya penghapusan dan penggantian syari’at[52]. Menurut Dawam Rahardjo, dalam posisi yang dikotomis, umat Islam dapat lebih memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk memperbaiki posisi dan peranannya serta melahirkan pemahaman yang tepat untuk suatu reaktualisasi ajaran-ajaran Islam demi mengatas problem kemanusiaan yang dihadapi umat Islam dan masyarakat secara keseluruhan[53].
Dalam rangka menguatkan studi Islam sebagai suatu kajian ilmiah dan bermanfaat bagi problem kemanusiaan, maka sedikitnya ada 3 hal yang perlu dipersiapkan. Pertama, perlu adanya pengembangan teori-teori kemasyarakatan dan teori perubahan sosial yang mendasarkan diri dan mengacu pada ajaran Islam sendiri. Kedua, untuk menyusun teori-teori dasar, maka dibutuhkan ketajaman pandangan dan daya kritis yang tinggi. Ketiga, perlu dibangun suatu body of knowledge yang dibentuk dari teori dan praktik yang lahir dari akumulasi pengalaman dan penerapan ilmu-ilmu sosial yang ada. Ketiga hal inilah yang menjadi fokus dan kontribusi dari mata kuliah Filsafat Ilmu-Ilmu Keislaman dalam program Doktoral Studi Islam. Dari mata kuliah tersebut, diharapkan para mahasiswa S3 dapat berkontribusi pada pengembangan keilmuan dalam rangka pengembangan studi Islam. Pengembangan keilmuan tersebut harus melalui berbagai tahapan dari studi pustaka yang kritis (literary criticism) terhadap perkembangan mutakhir suatu kajian dan didukung dengan penyusunan theoretical framework yang kuat dan akurat akan melahirkan peneliti pada contribution to knowledge[54].
[1] M. Amin Abdullah. 2006. Metodologi Penelitian dalam Pengembangan Studi Islam. Dalam M. Amin Abdullah, dkk. 2006. Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan Multidisipliner. Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 4
[2] https://edukasi.sindonews.com/read/295880/211/produktif-3000-artikel-dosen-ptki-terpublikasi-di-jurnal-internasional-1610222489
[3] Ulil Abshar Abdalla, “Obrolan Hati Pena #25, Benarkah Gairah Pembaruan Pemikiran Islam Meredup?”, 10 Februari 2022, diupload Hati Pena TV, diakses melalui https://www.youtube.com/watch?v=c3PdG3KdfU4
[4] Miswari, “Pembukaan Kader Pemikir Islam Indonesia; Mencari Kader Penerus Cak Nur”, 13 November 2021, diupload Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), diakses melalui https://www.youtube.com/watch?v=eXRmmttvUAY
[5] Megan Brankley Abbas. Whose Islam?: The Western University and Modern Islamic Thought in Indonesia. California: Stanford University Press, 2001, 4
[6] Megan Brankley Abbas. Whose Islam?.., 4; Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, Chicago: University of Chicago Press, 1982, 58
[7] Megan Brankley Abbas. Whose Islam?.., 6
[8] Megan Brankley Abbas. Whose Islam?…, 7
[9] Budhy Munawar-Rahman, Karya Lengkap Murcholish Madjid: Keislaman, Keindonesiaan, dan Kemodernan. Jakarta: Nurcholish Madjid Society, 2020, 280-281
[10] Ahmad Nawawi, Pengantar Studi Islam (Perspektif Metodologi). Yogyakarta: Azzagrafika, 2015, 49
[11] Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 1999, 3
[12] Syakib Arslan, Limadza Ta’akhara al-Muslimun wa Limadza Taqaddama Ghairuhum, Beirut: Mansyurat Daar Maktabah al-Hayat, 1930, 80
[13] Admin, Metodologi Studi Islam, dalam https://insists.id/metodologi-studi-islam/
[14] Muhammad Nuruddin, “Saran”, diakses melalui https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=4996807213747568&id=100002550165636
[15] Muhammad Nuruddin, “Meluas”, diakses melalui https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=5006716412756648&id=100002550165636
[16] Yoyo, Pemikiran Arab: Dinamika Intelektual, Ideologi, dan Gerakan. Yogyakarta: Sociality, 2017, 41-49
[17] Yoyo, Pemikiran Arab…, 36
[18] Yoyo, Pemikiran Arab…, 34
[19] Yoyo, Pemikiran Arab…, 40
[20] Yoyo, Pemikiran Arab…, 77
[21] Yoyo, Pemikiran Arab…, 82
[22] Ibrahim M. Abu-Rabi’, Contemporary Arab Thought: Studies In Post-1967 Arab Intellectual History. London: Pluto Press, 2004, 63-92
[23] Shahrough Akhavi, The Dialectic in Contemporary Egyptian Social Thought: The Scripturalist and Modernist Discources of Sayyid Qutb and Hasan Hanafi. International Journal of Middle East Studies, 29, 1997, 377
[24] Yoyo, Pemikiran Arab…, 85
[25] Harda Armayanto (Ed), Framework Studi Islam: Kajian Multidisiplin Wacana Keislaman Kontemporer. Ponorogo: UNIDA Gontor Press, 2018, v-vi
[26] Harda Armayanto (Ed), Framework Studi Islam…, viii
[27] Hamid Fahmy Zarkasyi, Worldview Sebagai Asas Epistemologi Islam, dalam Harda Armayanto (Ed), Framework Studi Islam: Kajian Multidisiplin Wacana Keislaman Kontemporer. Ponorogo: UNIDA Gontor Press, 2018, xxx
[28] Adnin Armas dan Harda Armayanto, Islamisasi Ilmu Pengetahuan: Respons Terhadap Tradisi Keilmuan Barat, dalam Harda Armayanto (Ed), Framework Studi Islam: Kajian Multidisiplin Wacana Keislaman Kontemporer. Ponorogo: UNIDA Gontor Press, 2018, 14
[29] S.M.N. Al-Attas, Islam and Secularism, Kuala Lumpur: ISTAC, 1993, 134
[30] Adnin Armas dan Harda Armayanto, Islamisasi Ilmu Pengetahuan: Respons Terhadap Tradisi Keilmuan Barat, dalam Harda Armayanto (Ed), Framework Studi Islam: Kajian Multidisiplin Wacana Keislaman Kontemporer. Ponorogo: UNIDA Gontor Press, 2018, 23-24
[31] Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam (Gerakan Bersama Misionaris, Orientalis, dan Kolonialis), Ponorogo: CIOS-ISID, 2008, 8
[32] Alparslan Acikgence, Islamic Science: Towards a Definition, Kuala Lumpur: ISTAC, 1996, 19
[33] Adnin Armas dan Harda Armayanto, Islamisasi Ilmu Pengetahuan: Respons Terhadap Tradisi Keilmuan Barat, dalam Harda Armayanto (Ed), Framework Studi Islam: Kajian Multidisiplin Wacana Keislaman Kontemporer. Ponorogo: UNIDA Gontor Press, 2018, 15-16
[34] Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas – An Exposition of the Original Concept of Islamization, Kuala Lumpur: ISTAC, 1998, 298
[35] Adian Husaini, Jangan Kalah Sama Monyet: 101 Gagasan Pemandu Pikiran pada Era Kebohongan, Yogyakarta: Pro-U Media, 2020, 177
[36] Adian Husaini, Jangan Kalah Sama Monyet…, 158-159
[37] Syakib Arslan, Limadza Ta’akhara al-Muslimun …, 88
[38] Syakib Arslan, Limadza Ta’akhara al-Muslimun…, 88
[39] Syakib Arslan, Limadza Ta’akhara al-Muslimun …, 114
[40] Budhy Munawar-Rahman, Karya Lengkap Murcholish Madjid…, 280-281
[41] Mohammad Quraish Shihab, Posisi Sentral al-Qur’an dalam Studi Islam, dalam Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (Ed), Metodologi Penelitian Agama, Cet. II, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004, 179
[42] Robert Lee dalam M. Arkoun, Rethinking Islam. Terj. Yudian W Asmin dan Lathiful Khuluq. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, xxiv
[43] M. Arkoun, Al-Fikr al-Islamy: Qira’ah ‘Ilmiyyah. Terj. Hasyim Sholih. Cet. II. Beirut: al-Markaz al-Tsaqafy al-‘Araby, 1996, 110
[44] M. Arkoun, Al-Fikr al-Islamy…, 1996, 296
[45] M. Amin Abdullah, Multidisiplin, Interdisiplin, dan Transdisiplin: Metode Studi Agama dan Studi Islam di Era Kontemporer, Yogyakarta: IB Pustaka, 2020, 52
[46] Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2019, 76-77
[47] Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (Ed), Metodologi Penelitian Agama, Cet. II, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004, ix
[48] Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (Ed), Metodologi Penelitian Agama, Cet. II, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004, ix-x
[49] Mattulada, Studi Islam Kontemporer (Sintesis Pendekatan Sejarah, Sosiologi, dan Antropologi dalam Mengkaji Fenomena Keagamaan), dalam Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (Ed), Metodologi Penelitian Agama, Cet. II, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004, 7-8
[50] Mattulada, Studi Islam Kontemporer (Sintesis Pendekatan Sejarah, Sosiologi, dan Antropologi dalam Mengkaji Fenomena Keagamaan), dalam Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (Ed), Metodologi Penelitian Agama, Cet. II, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004, 6
[51] M. Arkoun, Rethinking Islam. Terj. Yudian W Asmin dan Lathiful Khuluq. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, 20
[52] M. Arkoun, Al-Fikr al-Islamy: Qira’ah ‘Ilmiyyah. Terj. Hasyim Sholih. Cet. II. Beirut: al-Markaz al-Tsaqafy al-‘Araby, 1996, 89
[53] M. Dawam Rahardjo, Pendekatan Ilmiah Terhadap Fenomena Keagamaan, dalam Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (Ed), Metodologi Penelitian Agama, Cet. II, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004, 29
[54] M. Amin Abdullah. 2006. Metodologi Penelitian dalam Pengembangan Studi Islam…, 4