Isu radikalisme dan kekerasan atas nama Islam kembali marak berhembus di Indonesia. Setelah gelaran pilkada DKI pada akhir tahun 2016 dan awal 2017 yang ramai menyangkutpautkan nama Islam, hembusan isu tersebut tak jua reda. Berbagai kekerasan masih digaungkan atas nama Islam. Berbagai aksi teror pun selalu dialamatkan kepada kelompok Islam, khususnya yang berlabel “radikal”. Akar-akar penyebaran paham radikal ini tidak hanya menyasar mereka yang berpendidikan kurang atau mereka yang berada pada tataran akar rumput (grass root), namun juga berkembang subur di berbagai lembaga pendidikan, baik umum maupun Islam. Hal tersebut dapat ditemukan di berbagai jenjang pendidikan, mulai dari pendidikan usia dini hingga perguruan tinggi. Meskipun pada tataran sekolah, paham tersebut tidak dapat merangkul lebih banyak peminat bila dibandingkan dengan penyebarannya di perguruan tinggi. Sistem pendidikan perguruan tinggi yang mengedepankan kebebasan dan kemandirian mahasiswa dalam mencari informasi, membuat mereka dapat mudah terjangkiti paham-paham radikalisme ekstrimis.
Alasan tersebut yang mendasari diadakannya kajian ini sebagai salah satu upaya membendung penyebaran paham tersebut. Kajian tersebut diisi oleh Ali Fauzi Manzi, M.A. dari Yayasan Lingkar Perdamaian dan Dr. M. Najib Azka, dosen ISIPOL UGM yang berfokus pada studi Islam dan isu politik Islam. Diskusi tersebut dipandu oleh Bapak Rahmat Hidayat, Ph.D. dosen UIN Sunan Kalijaga selaku moderator. Diskusi ini menarik karena menghadirkan narasumber yang terlibat langsung dengan berbagai aksi-aksi teror di Indonesia, Ali Fauzi Manzi. Beliau merupakan mantan pejuang Jama’ah Islamiyyah dan merupakan kerabat serta saudara kandung dari Ali Ghufran dan Amrozy, terpidana mati kasus Bom Bali I pada tahun 2002. Beliau memperoleh didikan militer sejak kecil di Filipina dan Afghanistan dan berfokus pada divisi perakitan bom.
Menurutnya, serangan menggunakan bom di Indonesia dimulai sejak meledaknya bom mobil di depan Kedutaan Besar Filipina di Jakarta pada tahun 2000. Bom mobil yang meledak kala itu memiliki bobot sekitar 350 kg. Kejadian tersebut disusul dengan teror-teror bom mobil lainnya, termasuk tragedi Bom Bali. Konon, bom mobil yang diledakkan di Bali memiliki bobot 1 ton 125 kg. Dengan bobot hulu ledak sebesar itu, siapapun yang berada pada radius 10-15 meter dari mobil tersebut akan segera meninggal tanpa jejak.
Pola terorisme di Indonesia mengalami beberapa varian. Pada kurun tahun 2000-2009, hampir seluruh aksi terorisme di Indonesia dimotori oleh Jama’ah Islamiyyah (JI) dan Negara Islam Indonesia (NII). Adapun pada 2010 hingga saat ini, khususnya 3 tahun belakangan, aksi teror di Indonesia dimotori oleh Jama’ah Anshaaru’t Tauhiid (JAT). Pola penyerangan juga berbeda. Pada awal 2000an hingga 2010, modus aksi teror adalah menggunakan medium bom, baik bom rompi maupun mobil. Aksi teror juga diadakan dengan berkelompok dan terorganisir. Adapun tren yang berkembang belakangan memiliki modus yang beragama, mulai dari penembakan, pembakaran dan berbagai aksi lainnya. Aksi-aksi tersebut juga bersifat land off alias tidak teorganisir. Aksi tersebut hanya dilakukan oleh perseorangan atau kelompok kecil. Dari segi sasaran juga terdapat pergeseran. Bila dahulu berfokus pada simbol-simbol Barat seperti kedutaan besar, kafe dan hotel wisatawan asing, saat ini beralih kepada simbol-simbol lokal, khususnya aparat kepolisian dan tentara.
Perubahan pola aksi teror ini melahirkan banyak sekali aksi teror pasca tahun 2010. Namun secara kuantitas korban dan efek yang ditimbulkan, aksi-aksi teror pada kurun tahun 2000-2009 jauh lebih besar. Tidak terorganisirnya serangan teror tersebut disinyalir karena rentan akan kegagalan aksi. Rentang waktu yang digunakan untuk mengorganisir aksi seringkali digagalkan oleh aparat berwajib. Bila gagal, daftar pelaku yang dapat terjaring akan sangat banyak karena sistem mereka yang saling terhubung satu sama lain. Karenanya, mereka memilih melancarkan aksi-aksi kecil yang tidak terorganisir demi menutupi jaringan mereka.
Terakhir, salah satu kesalahan yang diperbuat para aparat penegak hukum dalam memberantas aksi teror di Indonesia adalah ketidakpercayaan mereka akan pelaku. Ketika Bom Bali I meledak, banyak pihak yang menafikan bahwa bom tersebut dirakit oleh anak negeri. Mereka berspekulasi dengan adanya campur tangan CIA, al-Qaeda dan berbagai jaringan terorisme internasional lainnya dalam aksi tersebut. Keahlian dan bahan baku pembuatan bom tersebut pada hakekatnya merupakan produk dalam negeri. Ali Fauzi Manzi selaku kepala divisi bom saat itu mengakui bahwa bahan baku bom-bom tersebut ia dapatkan dengan menyelundupkannya melalui Sangihe Talaud, Sulawesi Utara. Seluruh proses perakitan bom tersebut juga dilakukan di Indonesia, tepat di Lamongan, Jawa Timur. Dengan kesadaran aparat penegak hukum dan pemerintah akan besarnya campur tangan anak negeri dalam aksi teror tersebut diharapkan dapat menambah tingkat kewaspadaan akan gerakan-gerakan dan aksi-aksi serupa.
Dr. M. Najib Arka dari ISIPOL UGM menambahkan bahwa akar terorisme tidaklah tunggal, namun majemuk bahkan saling berkaitan satu sama lain (komplikasi). Kemiskinan yang selama ini ditengarai sebagai salah satu faktor terbesar alasan seseorang bergabung ke dalam jaringan ternyata tidaklah benar. Menurutnya, mengutip dari Marc Sageman, 90% dari mereka yang bergabung ke dalam jaringan terorisme adalah karena faktor pertemanan (friendship). Faktor ini pula yang dapat dijadikan penawar saat proses deradikalisasi atau counter-terrorist.
Keluarga juga memiliki pengaruh yang besar dalam alasan bergabungnya seseorang ke dalam jaringan teroris. Menurut beliau yang juga diamini oleh Ali Fauzi, keluarga memiliki transformasi dan reproduksi ideologi-ideologi serta paham radikal terhadap anak-anak mereka. Tak heran bila banyak anak kecil yang sudah akrab dengan berbagai ideologi radikal ekstrimis sejak masa kanak-kanak. Di samping keluarga, lembaga-lembaga pendidikan, khususnya Islam juga mulai menaburkan serta menyuburkan benih-benih radikalisme. Salah satu contoh nyata adalah pelabelan “Muslim” dan “Kafir” oleh anak terhadap orang di sekitar mereka. Sungguh ironis, lembaga yang diharapkan mampu mengcounter berbagai paham tersebut justru berbalik menyuburkannya.
Dalam perekrutannya, para pelaku banyak mengangkat isu-isu tentang konflik seperti Palestina, Rohingya, Suriah dan lain sebagainya. Isu-isu tersebut dibarengi dengan doktrin ayat-ayat yang kental dengan konteks peperangan. Mereka juga selalu dimanjakan dengan sirah dan kisah peperangan di zaman Nabi hingga zaman kekhalifahan setelahnya. Menurut Ali Fauzi, tujuan awal perekrutan adalah untuk menyiapkan mental dan raga dalam rangka “Jihad Defensif” (جهاد الدفع). Namun karena semangat yang sangat menggelora dan menggebu-gebu, mereka segera melancarkan aksi yang mereka sebut “jihad”.
Menutup diskusi tersebut, Dr. Najib Azka memaparkan berbagai penyebab seorang pelaku teror dapat bertaubat atau konversi. Beberapa penyebab tersebut antara lain; langkah represif oleh pemerintah, pendekatan hukum (law enforcement), pendekatan kemanusiaan (humanistic approach/human touch), pendekatan pada aspek sosial ekonomi (socio-economics aspects), pendekatan hak asasi manusia (human rights) dan pendekatan melalui kontra-ideologi dan kontra-narasi. Pendekatan penanggulangan terorisme juga melalui tiga level, level mikro, level meso dan level makro. Level mikro mencakup aspek psikologis dan biografis. Level meso mencakup jejaring sosial dan hubungan pertemanan. Adapun level makro meliputi berbagai faktor ekonomi, sosial, budaya dan politik yang adil. Bila semua aspek tersebut dapat diperhatikan, bukan tidak mungkin berbagai terorisme dan kekerasan berlabelkan agama, khususnya Islam dapat dienyahkan dari bumi pertiwi ini.
Masjid Kampus Bulaksumur, 29 Shafar 1439.
Pingback: Operasi Onta Gaya Modern - Yuanggakurnia.com
Pingback: Respon Masyarakat Muslim Terhadap Nasionalisme di era Reformasi - Yuanggakurnia.com