Bencilah Seperlunya

Minggu-minggu ini pelajaran kuliah saya berbicara tentang pengantar Ilmu Semantik. Berbicara tentang semantik berarti berbicara tentang tanda (sign) dan simbol (symbol), dua hal yang serupa namun tak sama. Tanda berkaitan erat dengan hal-hal yang referensial atau yang memiliki referen konkret dan nyata, seperti meja, kursi, ruang kuliah dan kendaraan. Hal tersebut berbeda dengan simbol yang berkaitan dengan hal-hal non-referensial dan abstrak seperti keadilan, kebenaran, kebaikan dan keburukan. Semua hal yang menunjukkan hal tersebut merupakan simbol dan bukannya tanda. Hal-hal yang abstrak tersebut membutuhkan simbol untuk dapat dipahami dan menyampaikan pesan kepada manusia lainnya. Caranya pun bermacam-macam, sesuai dengan kapasitas pemberi pesan dan penerima pesan.

Dalam keseharian kita sering terjebak dalam menafsirkan simbol dan makna dari simbol itu sendiri. Kita paham apa yang dimaksud dengan keburukan, kebaikan, keadilan, kedhaliman dan hal-hal abstrak lainnya. Sayangnya, kita sering terjebak pada simbol keburukan, kebaikan, dan simbol-simbol lainnya. Kita menganggap bahwa simbol tersebutlah kebenaran yang hakiki, keburukan yang sesungguhnya dan lain sebagainya hingga lupa akan makna dan inti dari pesan yang disampaikan. Dalam bahasa mudah, kita sering terpana, takjub dan kagum pada orang yang berbuat satu hal kebaikan hingga menganggap semua perbuatan, perkataan dan pemikirannya baik. Sebaliknya, kita membenci, memusuhi dan mencaci mereka yang berbuat satu kesalahan dan menganggap seluruh kehidupannya hanya diisi dengan dosa dan keburukan.  Hal yang dulu pernah saya singgung dalam tulisan berjudul “Fans and Haters”.

Bila dalam judul terdahulu saya berbicara tentang fanatik suka dan fanatik tidak suka, kali ini saya lebih berfokus pada membela orang benar dan membela kebenaran. Standar ganda yang banyak diterapkan di masyarakat membuat kerancuan berpikir yang – menurut saya – kronis dan menular. Dalam satu waktu, kata-kata yang keluar dalam beberapa detik dari kumpulan pidato berpuluh-puluh menit dapat diklaim sebagai suatu ujaran kebencian dan pemecah belah umat dan dalam waktu yang lain, peristiwa serupa mendapat pemakluman yang luar biasa. Mereka berpendapat bahwa “Satu kata dari 5 lembar kumpulan pidato mengapa perlu dipermasalahkan? Mereka saja yang syirik dan nyinyir”. Okelah bila mereka yang memprotes dianggap kurang kerjaan, nyinyir atau barisan sakit hati, namun fakta yang ada di lapangan seharusnya perlu ditelisik ulang. Mereka beranggapan bahwa merekalah orang adil dan simbol keadilan, bahkan keadilan itu sendiri. Semua kedzaliman dan ketidakadilan yang mereka lakukan adalah semata-mata untuk menegakkan keadilan. Sebaliknya, semua simbol-simbol keadilan dari orang yang “dianggap” tidak adil adalah sebuah ketidakadilan, seadil dan seamanah apapun mereka.

Ketika beberapa golongan mengalamatkan adanya ketidakberesan dalam memfungsikan agama sebagai landasan kebencian atau propaganda, mereka akan mendapat label “liberal”, “sekuler” dan lain sebagainya. Bila mereka mengkritik beberapa petinggi atau pemuka organisasi keagamaan, mereka dianggap mencaci dan melecehkan ulama. Bila mencari titik temu dalam dialog, mereka dianggap mengkompromikan urusan agama dan Tuhan. Sebaliknya, mereka mengumandangkan gaung diskriminatif dengan dalih kenyataan, mengkritik – bahkan mencaci – para tokoh yang berseberangan dengan mereka dengan dalih ucapan kebenaran perlu ditegakkan meski dengan ucapan yang mengandung kebencian dan angkara murka. Mereka juga menghindar dari usaha dialog dan kompromi antar elemen masyarakat dengan tuduhan adanya upaya penggembosan dan kongkalikong antar penyelenggara dan pihak-pihak yang terkait. Merekalah kebenaran dan pihak lainlah ketidakbenaran.

Salah satu contoh terbaru adalah pembatalan acara kebaktian di Stadion Kridosono, Yogyakarta yang sejatinya diadakan pada hari ini, 20 Oktober 2017. Panitia penyelenggara terpaksa membatalkan acara yang telah digagas sejak bulan Mei lalu dengan alasan menjaga menjaga keberagaman dan keamaan di tengah suasana kota Yogyakarta yang sedang tidak kondusif. Dalam wawancaranya, panitia menyebutkan adanya penolakan – hingga ancaman – dari pihak-pihak tertentu dan melampirkan surat keberatan kepada pihak yang berwajib. Bila ingin lebih menelisik lebih dalam isu ini, niscaya akan kita dapati hal-hal yang berkaitan dengan “kristenisasi”, “majunya agama Kristen” dan ungkapan-ungkapan penuh kebencian lainnya. Bukankah umat mayoritas dapat melaksanakan ibadah sholat ied di berbagai tempat umum, penyesuaian jam kerja saat bulan puasa, mengadakan pengajian rutin, tabligh akbar dan istighatsah tanpa ancaman? Apakah standar ini hanya berlaku pada tertentu? Selain acara keagamaannya, seluruhnya diklaim sebagai Kristenisasi, Hinduisasi, Budhaisasi hingga Konghucuisasi yang otomatis akan dilanjutkan pada Cinaisasi? Ketika mendapatkan larangan serupa, mereka akan berkoar-koar akan adanya konspirasi A, konspirasi B, pelemahan sendi-sendi agama, politisasi, intrik politik dan sebagainya.

Ketika pemuka agama dan pemeluknya menyuarakan dakwah ke jalan yang benar, maka tatkala pemuka agama lain yang mengumandangkan hal yang senada dengan gaya bahasa agama masing-masing akan mendapatkan predikat “gerakan pemurtadan”. Dakwah kepada agama atau Islamisasi adalah suatu hal yang baik dan lazim, sebaliknya penginjilan dan gerakan evangelis adalah suatu dosa dan pelanggaran. Pelakunya harus dituntut secara hukum dan diberi hukuman – baik materi maupun non materi – yang seberat-beratnya.

Mari sedikit bergeser ke bahasan lain. Saya pribadi sebagai mahasiswa yang pernah belajar tentang studi-studi agama dunia sering mengalami kemirisan dan kegelisahan pribadi, entah ilmiah atau tidak. Ketika berbicara tentang agama lain semua mahasiswa – dan beberapa pengajar – segera memandangnya dari kacamata Islam dan melabelinya dengan label “kafir” dan “kekal di Jahannam” tanpa memerdulikan sejarah agama tersebut. Saya tidaklah memandang agama mereka benar dan tidak mengakui agama yang saya anut saat ini, namun dalam studi tentang agama lain tidak dapatkah kita berbuat adil saat mempelajari agama mereka seperti saat mempelajari agama sendiri? Saya tidak pernah menganggap bahwa semua agama sama atau semua agama benar, namun berikan porsi pembelajaran yang sama bagi semuanya. Toh, kita hanya mempelajarinya sebagai suatu mata pelajaran dan bertujuan untuk membuka wawasan keberagaman di dunia bukan untuk mengimani konsep ketuhanan dan kepercayaan mereka.

Hal lain yang tak kalah menggelisahkan adalah adanya ejekan-ejekan dan hinaan terhadap kepercayaan, peribadatan dan konsep ketuhanan agama lain. Saya pikir tidak perlu untuk menuliskannya di sini karena hanya menambah panjang daftar penistaan agama yang tidak perlu. Alasan yang diberikan saat saya menegur pun sungguh luar biasa “Tuhannya orang kafir buat apa dihormati, kan sudah pasti masuk neraka?”. Sungguh jawaban yang seharusnya tidak keluar dari pikiran dan lisan seorang mahasiswa. Tidak meyakini tataran teologis – atau bahkan membenci-  suatu agama tidak menjadi syarat bahwa kita boleh memperolok-olok agama mereka dan kepercayaan mereka. Mereka memang kafir sesuai ajaran agama kita, namun ingat pula bahwa kita juga “domba yang tersesat” bagi ajaran mereka. Mendengar kata “domba” beberapa pihak dari kita akan langsung naik pitam dan terbakar telinganya karena dianggap binatang, tanpa pernah sadar bahwa permisalan hanyalah sebuah permisalan. Bukankah umat mereka sendiri disebut “domba” yang mengikuti “sang Gembala”?

Ketika oknum dari agama kita dilabeli intoleran dan anti-kebhinnekaan, kita merespon dengan mencaci maki mereka dan mengatakan bahwa merekalah yang intoleran sesungguhnya. Ketika kita dengan tenang dan khusyuk beribadah di rumah ibadah yang dapat ditemukan setiap 500 M, mereka harus berjibaku memenuhi berbagai syarat demi melaksanakan peribadatan dan membangun rumah ibadah. Bilapun telah terbangun, tuduhan permurtadan dan kristenisasi segera menghujani mereka sehingga berujung pada pengosongan hingga penutupannya. Semua pihak selalu merasa paling benar dan menjadi korban sehingga halal untuk melakukan perbuatan paling keji sekalipun dalam rangka membela diri.

Menutup perbincangan ini, saya ingin mengutip salah satu ayat yang secara tidak sengaja saya baca dan sangat berkaitan dengan apa yang menjadi uneg-uneg saya. Allah SWT berfirman:

وَلاَ تَسُبُّوْا الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ فَيَسُبُّوْا اللهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ (الأنعام:  108)

Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan

(QS: al-An’aam: 108).

Senada dengan ayat tersebut adalah salah satu hadits Rasulullah SAW yang berbunyi:

وَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( مِنْ اَلْكَبَائِرِ شَتْمُ اَلرَّجُلِ وَالِدَيْهِ قِيلَ: وَهَلْ يَسُبُّ اَلرَّجُلُ وَالِدَيْهِ؟ قَالَ: نَعَمْ يَسُبُّ أَبَا اَلرَّجُلِ, فَيَسُبُّ أَبَاهُ, وَيَسُبُّ أُمَّهُ, فَيَسُبُّ أُمَّهُ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari Abdullah Ibnu Amar Ibnu al-‘Ash Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Termasuk dosa besar ialah seseorang memaki orang tuanya.” Ada seseorang bertanya: Adakah seseorang akan memaki orang tuanya. Beliau bersabda: “Ya, ia memaki ayah orang lain, lalu orang lain itu memaki ayahnya dan ia memaki ibu orang lain, lalu orang itu memaki ibunya.” Muttafaq Alaihi. (Hadits ke 1223 dalam Kitab Kelengkapan Bab Tentang Kebaikan dan Silahturrahim dalam buku Buluughu’l Maraam)

Jadi, berdasarkan ayat dan hadits tersebut, kita sudah cukup menghina Tuhan kita sendiri ketika kita menghina kepercayaan dan sesembahan orang lain selain Allah. Karena yang demikian itu menyebabkan mereka akan menghina Tuhan kita. Bisa jadi kita sendiri yang menyebabkan adanya penistaan agama tersebut?

Wallahu A’lam Bi’sh Shawaab.

 

Ditulis pertama kali pada Yogyakarta, 30 Muharram 1439/ 20 Oktober 2017

 

2 thoughts on “Bencilah Seperlunya”

  1. Pingback: Artis VA dan Efek Sebuah Kehilangan - Yuanggakurnia.com

  2. Pingback: The Third Conference on Inclusive Religious Education: Religious Literacy in Contexts - Yuanggakurnia.com

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top