Pada awal orde baru, Presiden Soeharto membersihkan seluruh unsur-unsur komunis yang ada di Indonesia. Selain itu, pemerintah juga melindungi masuknya ideologi-ideologi komunis dari negara-negara lainnya. Di samping Uni Soviet, Vietnam, dan Korea Utara, beberapa negara di Timur Tengah juga cukup kental dengan ideologi komunis pada era 1960-an. Sebutlah negara-negara seperti Mesir, Libya, Irak, Suriah, dan Yaman yang memberikan ruang bagi berkembangnya ideologi tersebut.
Dalam rangka mencegahnya, Satuan Khusus Intelijen (Satsus Intel) di bawah Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Komkamtib) mengawasi berbagai kedutaan besar beberapa negara Timur Tengah di Indonesia. Kedutaan besar yang masuk dalam radar pengawasan adalah Kedubes Irak, Mesir, Suriah, dan Yaman. Operasi ini dimulai pada 1969 dan meningkat menjadi operasi bersandi Onta paad 1973. Pada operasi onta, pengintaian hanya difokuskan pada dua diplomat, yaitu diplomat Irak dan Yaman selama sepuluh hari. Pada operasi Onta II dan III pun, pengintaian dilakukan pada kedua diplomat tersebut.
Seperti kata pepatah Perancis “l’histoire se répète”, sejarah mengulang dirinya sendiri. Lebih dari 50 tahun setelah kasus pemberontakan komunis di Indonesia, gerakan ini hampir tidak pernah muncul secara nyata di Indonesia. Meskipun setiap tahunnya, setiap bulan September mulai berhembus isu tentang kebangkitan ideologi yang secara resmi dilarang di Indonesia tersebut. Namun, sentimen terhadap ideologi dari Timur Tengah tidak serta merta berakhir.
Pada kisaran awal September 2021, kisah serupa kembali terulang. Dalam acara Crosscheck #FromHome by Medcom.id bertajuk ‘Taliban Bermuka Dua ke Indonesia?’ yang diselenggarakan pada Ahad (5/9), seorang pakar militer dan pengamat intelijen memberikan pernyataan yang cukup mengejutkan. Ia berpendapat bahwa sudah banyak sekolah di Indonesia yang berkiblat pada Taliban dan ikut melakukan glorifikasi kemenangan Taliban di Afghanistan. Hal tersebut merupakan cikal bakal pemikiran radikalisme dan terorisme. Penanda dari model paham seperti itu adalah pengajaran bahasa Arab dan penggunaannya di sekolah-sekolah.
Bila dahulu operasi bersandi Onta digalakkan oleh pihak Satsus Intel untuk menanggulangi masuknya ideologi komunisme, maka pada era modern ini, ideologi yang diwaspadai menular pada bangsa ini adalah radikalisme dan paham teroris. Bertepatan dengan 20 tahun peristiwa runtuhnya menara kembar World Trade Center (WTC) di Amerika Serikat (AS), peperangan melawan teroris mulai digalakkan. George W Bush, Presiden AS kala itu, mengumumkan perang kepada jaringan teroris yang dianggap bertanggung jawab terhadap peristiwa tersebut. Pernyataan tersebut ditindaklanjuti dengan invasi militer AS ke Afghanistan (2001-2021) dan Irak (2003-2011). Sejak saat itu, seluruh kawasan di Timur Tengah sangat lekat dengan stigma negatif sebagai sumber paham teroris dan berkembang menjadi Islamofobia.
Meskipun pasukan AS telah ditarik dari Afghanistan pada Selasa (31/8), namun nyatanya stigma teroris yang disematkan kepada organisasi di Timur Tengah tetap berkembang. Bahkan, tidak terbatas pada organisasi Timur Tengah, seringkali tuduhan dilakukan secara membabibuta kepada seluruh hal yang berasal dari kawasan itu, termasuk budaya Arab dan agama Islam yang identik dengan kawasan tersebut. Pernyataan pengamat intelijen di atas adalah salah satu contohya. Bahasa Arab yang sejatinya merupakan bahasa sebagaimana bahasa lainnya yang merupakan salah satu media komunikasi, juga tidak lepas dari dari stigma negatif ini, seperti halnya cara berpakaian tertentu.
Terorisme dan radikalisme sejatinya sebuah paham yang tidak dapat dihukumi hanya dengan penampakan luar seseorang. Paham itu tersembunyi di dalam pikiran dan sikap seseorang. Sebagaimana disebutkan oleh Yenny Wahid, Direktur Wahid Foundation, bahwa fenomena terorisme merupakan sebuah fenomena trans-nasional dan tidak hanya sebatas fenomena lokal. Kerjasama dalam menanggulangi fenomena ini telah dilakukan antar negara, termasuk dengan negara-negara di Timur Tengah. Salah satu bentuk keseriusan Arab Saudi dalam memerangi terorisme dan radikalisme adalah pendirian “Pusat Global untuk Memerangi Ideologi Ekstremis” yang disebut Etidal yang diresmikan pada 21 Mei 2017 oleh Raja Salman dan Presiden AS, Donald Trump. Selain itu, Liga Muslim Dunia (World Moslem League) atau Rabithah Alam Islami juga berada di belakang gerakan tersebut dengan merangkul seluruh muslim di dunia.
Berbagai hal di atas menunjukkan bahwa generalisasi semua yang berasal dari Timur Tengah atau berbau Arab sebagai ciri radikalisme dan terorisme adalah logika yang cukup bermasalah. Kesimpulan ini cukup dangkal bila hanya didasarkan pada satu dua kasus saja, terlebih dengan adanya stigmatisasi dari pembesar AS dan negara adidaya lainnya bahwa Timur Tengah dan Islam selalu identik dengan cikal bakal gerakan radikal dan teroris. Menariknya, dengan adanya pernyataan tersebut, justru membuktikan bahwa Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, nyatanya masih rentan dengan Arab-fobia atau bahkan Islamofobia.
Pingback: Piala Dunia 2022 dan Usaha Qatar Menepis berbagai Kontroversi - Yuanggakurnia.com