Benarkah Agama adalah Teori Konspirasi?

Beberapa saat yang lalu sempat viral saat salah seorang narasumber di televisi mengatakan bahwa agama adalah merupakan teori konspirasi. Pernyataan tersebut mengundang banyak respon dari beberapa pemuka masyarakat di dunia maya. Berikut adalah kutipan dari pernyataan tersebut:

Mayoritas masyarakat Indonesia percaya pada agama. Mayoritas masyarakat Indonesoa percaya pada Tuhan? Saya berani bilang bahwa agama adalah salah satu teori konspirasi juga karena tidak ada bukti-bukti sains” (Pada menit 0:59 dalam video berjudul “Ini Kata Jerinx soal Konspirasi Corona” yang diunggah oleh KompasTV di kanal YouTube pada 7 Mei 2020)

Anda menuduh bahwa orang yang percaya pada teori konspirasi sebagai orang yang halu atau orang yang bodoh, tapi anda masih percaya pada agama, sementara agama itu apakah ada data-data faktualnya? Tidak ada kan. Seluruhnya hanya berdasarkan “katanya…” dan “katanya…”. (Pada menit 1:25 dalam video berjudul “Ini Kata Jerinx soal Konspirasi Corona” yang diunggah oleh KompasTV di kanal YouTube pada 7 Mei 2020)

Pernyataan tersebut yang sejatinya berfokus pada pendapat narasumber terkait virus Corona adalah sebuah konspirasi. Namun, pada menit tersebut ia memberikan analogi tentang penganut teori konspirasi seperti penganut agama. Hal ini sontak membuat beberapa pemuka agama dan tokoh lain berang. Dalam beberapa unggahan di kanal YouTube dan sosial media lainnya mereka menjawab (bahkan menghujat) penyataan tersebut. Bahkan beberapa tokoh justru menantangnya untuk berdebat secara terbuka tentang hakikat agama.

Dalam konten kali ini, kita akan coba berbincang tentang apa itu teori konspirasi sehingga banyak pihak yang tersinggung saat dihubungkan dengan agama dan mencoba mengupas sedikit tentang hakikat kebenaran agama secara ilmiah. Benarkah agama merupakan sebuah konspirasi yang tidak disadari oleh para penganutnya?

 

Teori konspirasi adalah….

Secara harfiah, teori konspirasi berarti teori persekongkolan. Teori ini seringkali berusaha menjelaskan bahwa rangkaian peristiwa sejatinya tidak terjadi secara kebetulan, melainkan telah diatur oleh sekelompok orang atau organisasi rahasia untuk mendapatkan kekuasaan atau pengaruh secara besar. Mereka yang percaya pada teori ini seringkali menganggap semua versi resmi suatu peristiwa merupakan hasil konspirasi dan terdapat banyak hal yang ditutup-tutupi.

Mengapa banyak orang percaya pada teori ini?

Menurut para ahli psikologi, sejatinya teori ini merupakan kepercayaan yang salah namun tetap dipercaya sebagai suatu kebenaran. Hal terebut karena ketika seseorang berada di dalam ketidaktahuan atau ketidakpastian terhadap suatu hal atau peristiwa, mereka akan merasa tidak menyenangkan. Mereka akan mencoba mencari pembenaran atas hal-hal tersebut dan teori konspirasi adalah salah satu jawaban untuk menjelaskan peristiwa tersebut.

Jawaban yang mereka inginkan seringkali bukan berlandaskan pada asas kebenaran ilmiah. Seringkali jawaban tersebut bersifat menghibur atau sesuai dengan pandangan dunia masing-masing. Karenanya, teori ini memberikan rasa kepastian yang menghibur.

Selain itu, dengan mengetahui salah satu rahasia yang “dianggap” teori konspirasi, seseorang merasa unik dan spesial. Ia merasa mengetahui hal yang telah disembunyikan dan tidak banyak orang yang mengetahuinya. Di dalam ilmu logika (manthiq), hal tersebut disebut pula حب المخالفة ‘ketertarikan untuk berbeda’ dan merupakan salah satu kesalahan dalam berfikir logis (الخطأ في التفكير) atau fallacy.

 

Mengapa banyak pihak tersinggung saat agama disebut sebagai teori konspirasi?

Hal ini dikarenakan teori konspirasi yang tidak memiliki landasan ilmiah yang kuat dan berdasar pada fakta-fakta. Dalam penarikan kesimpulannya, seringkali terjadi kesalahan logika atau cenderung pada Cocokologi. Di sisi lain, agama berasal dari wahyu Tuhan dan kebenarannya bersifat absolut/mutlak. Bila agama disebutkan sebagai teori konspirasi yang memang tidak memiliki dasar, maka hal ini menghilangkan kesakralan dan kebenaran dari ajaran suatu agama. Pendek kata, pernyataan tersebut menganggap bahwa agama – selama ini – merupakan sebuah kebohongan yang dipercaya banyak orang.

 

Mengapa ada yang mengatakan agama adalah teori konspirasi?

Dalam menjawabnya, kita perlu sedikit berbicara tentang filsafat dan aliran di dalamnya. Apa yang disampaikan oleh narasumber di televisi tersebut disebut pula dengan pemikiran filsafat positivisme.  Pengaruh positivisme yang mengemukakan bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid dan fakta-fakta sajalah yang dapat menjadi obyek pengetahuan. Menurutnya, kebenaran adalah yang logis, ada bukti empirisnya, dan terukur.

Yang dimaksud dengan “Terukur” adalah obyek ilmu pengetahuan maupun pernyataan-pernyataan ilmu pengetahuan haruslah dapat di/teramati (observable), dapat di/terulang (repetable), dapat di/terukur (measurable), dapat di/teruji (testable) dan dapat diramalkan (predictable). Positivisme adalah cara pandang yang memahami dunia berdasarkan sains. Sehingga agama tergolong ke dalam kebenaran yang tidak logis dan tidak memiliki bukti empiris seperti halnya teori konspirasi yang dipercaya orang.

Pandangan ini merupakan salah satu pandangan tertua di dunia. Pandangan ini juga mengundang banyak kritik dari filsuf lainnya. Hal ini dikarenakan syarat-syarat ilmu pengetahuan yang secara otomatis mengkategorikan masalah agama, etika, estetika,realitas sosial yang berubah-ubah sehingga tergolong ke dalam bidang metafisika yang jauh dari kata ilmiah.

Para filsuf kemudian merumuskan pendekatan fenomenologi, hermeneutika dan teori kritis sebagai cara pandang dalam memahami fakta-fakta sosial seperti masalah agama, etika, estetika, dan realitas sosial secara obyektif dan ilmiah.

 

Benarkah agama tidak didukung dengan kebenaran ilmiah?

Sejak lama, agama sering dituduh berseberangan dengan ilmu pengetahuan dan filsafat. Padahal, ketiganya memiliki kesamaan, yaitu sebagai cara untuk mendapatkan kebenaran. Meski memiliki kesamaan, namun ketiganya bukan merupakan sinonim.

Dalam ranah filsafat ilmu, filsafat dan ilmu memiliki sumber yang sama, yaitu rasio atau akal. Dari segi objek, ilmu hanya menjangkau wilayah fisik (alam dan manusia), adapun filsafat menjangkau wilayah metafisik (Tuhan, alam, dan manusia). Kebenaran keduanya bersifat relatif karena keterbatasan akal manusia. Adapun agama, kebenarannya bersifat absolut atau mutlak. John Hospers menyebutkan sumber ilmu pengetahuan atau kebenaran adalah a)Indra; b) Akal; c)Otoritas atau kekuasaan; d) Intuisi; e) Wahyu dan f) Keyakinan (faith)

Agama merupakan sistem kepercayaan yang merupakan sumber pengetahuan tentang moral dan penilaian mengenai baik dan buruk. Jadi, agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan tidaklah saling bertabrakan melainkan agama menjadi landasan moral dan etika dari filsafat dan ilmu pengetahuan. Albert Einstein menyatakan “Science without religion is blind, religion without science is lame” `Ilmu pengetahuan tanpa agama buta, agama tanpa ilmu lumpuh`.

Maksud dari penyataan tersebut adalah “Ilmu sebagai alat harus diarahkan oleh agama, supaya memperoleh kebaikan dan kesejahteraan, sebaliknya, ilmu tanpa agama maka akan membawa bencana dan kesengsaraan”.  Agama memiliki sistem peraturan atau norma yang mengatur hubungan antar manusia, manusia dan alam sekitarnya, dan manusia dengan Tuhan.

Beberapa argument ilmiah dapat ditemukan dalam film God’s not Dead 1 yang dirilis pada tahun 2014 mengisahkan perdebatan antara filsafat dan agama. Di dalam film tersebut banyak argumen yang dihadirkan untuk menjawab bagaimana keberadaan Tuhan dan kebenaran agama dari kaca mata filsafat dan ilmuwan. Di antara argumennya adalah

  • Bagi orang yang beragama, titik tetap moralitas, tentang apa yang benar dan salah seperti garis lurus yang mengarah langsung kepada Tuhan. Tanpa adanya Tuhan dan agama, tidak ada alasan nyata untuk bermoral, bahkan tidak ada standar akan seperti apa perilaku moral itu.
  • Jika Tuhan dan agama tidak ada, Fyodor Dostoyevsky berpendapat bahwa segala sesuatu diperbolehkan (If God does not exist then everything is permissible).

Jadi, agama dan ilmu pengetahuan berjalan berdampingan. Agama di tataran moral dan etika, ilmu pengetahuan dan filsafat di tataran rasio dan empiris (pengalaman manusia). Agama juga mewajibkan kepada pengikutnya untuk menggunakan akal mereka secara benar dalam sesuai ajaran dan tuntunan agama mereka agar dapat meraih kebenaran yang berlandaskan pada rasio, empiris, dan juga moral.

Wallahu a’lam.

(Bisa juga dilihat pembahasan tentang ini di video berikut)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top