Belajar Kehilangan dari The Avengers: Endgame

Akhir April ini, sejenak pembicaraan
di dunia maya teralihkan dari hingar bingar pemilu. Meski pemilu telah berlangsung
beberapa minggu lalu, namun atmosfer pemilu tak jua mereda. Mulai dari tuduhan
kecurangan KPU, penggiringan opini oleh lembaga survey hingga klaim kemenangan
salah satu paslon menjadi pembicaraan hangat pasca pemilu. Namun, belakangan
isu tersebut sedikit tergeser dengan tayangnya sekuel terakhir dari film The
Avengers
, yaitu The Avengers: Endgame.
Tanpa bermaksud memberikan spoiler,
tulisan ini hanya mencoba mengambil sedikit pelajaran dari film tersebut. Film
ini merupakan lanjutan dari The Avengers: Infinity War yang rilis tahun
2017 lalu. Dalam film yang berdurasi hampir 3 jam tersebut, menceritakan
bagaimana akhirnya Thanos berhasil mendapatkan semua infinity stones dan
melenyapkan setengah penduduk alam semesta.

Dalam film The Avengers:
Endgame
ini, film dimulai dengan bagaimana kondisi dunia setelah kejadian
tersebut. Para pahlawan yang tersisa masih tidak dapat melupakan rentetan
kejadian di saat itu. Saat di mana mereka semua harus kalah dan gagal mencegah
Thanos menjalankan ambisi besarnya. Akibatnya, mereka harus kehilangan semua orang
yang mereka sayangi. Keluarga, sahabat, tetangga, dan semua yang terkasih seketika
menjadi abu tatkala Thanos menjentikkan jarinya yang telah berisi semua
infinity stones.
Mereka semua merasakan tamparan
yang sama, yaitu kehilangan. Namun, mereka memiliki cara yang berbeda-beda
dalam menyikapi kehilangan. Ada yang selalu memikirkan hari-hari ketika mereka
gagal dan membawanya dalam kehidupan sehari-hari seperti Natasha Romanoff. Ia
merasa terpukul karena satu-satunya keluarga yang ia miliki harus musnah
menjadi abu karena kegagalannya.

Ada pula yang mencoba mengalihkan
semua ingatan yang ada dan rasa sakit dengan hal yang “dianggap” menyenangkan
seperti Thor. Ia pun menghabiskan harinya dengan bermain video game di rumah
sembari menghabiskan bertong-tong bir. Ia juga mulai membangun kembali pemukiman
bagi penduduk Asgard yang tersisa. Ia berusaha lari dari semua kenangan buruk
dan membuang jauh-jauh nama Thanos dan kejadian di hari itu. Namun jauh di
lubuk hatinya, luka akibat kehilangan tersebut masih menganga dan mengalirkan
berbagai rasa sakit.

Berbeda dengan yang dialami oleh Clint
Barton. Karena kehilangan semua anggota keluarganya, ia melampiaskan kekesalannya
kepada berbagai kelompok penjahat. Ia melampiaskan semua kekesalan dan luka
atas kehilangan tersebut dengan membunuh para penjahat. Namun, ia tidak melakukannya
atas dasar menegakkan kebenaran, melainkan untuk meluapkan amarahnya.
Tony Stark memiliki cara yang
berbeda. Ia menganggap bahwa semua kejadian ini merupakan kesempatan kedua baginya
untuk menjadi lebih berarti bagi keluarganya. Ia pun memiliki seorang putri dan
hidup jauh di pinggiran kota dengan penuh kedamaian dan keceriaan.
Demikianlah sekilas berbagai
ekspresi yang muncul sebagai dampak kehilangan. Kehilangan hal yang dicintai
dengan tiba-tiba memang tidak mudah. Akan banyak luka yang menganga dan tak
mudah sembuh begitu saja. Tidak semua orang dapat melanjutkan hidup lebih baik
atau bahkan hanya sekedar sama seperti sediakala, sebelum hal tersebut
menghilang. Ada yang mengalami kesedihan mendalam, ada yang mencoba
melupakannya dengan hal negatif, ada yang membawa semua penyesalan dalam tiap
langkah hidupnya, dan berbagai ekspresi lainnya.
Seperti yang pernah saya ceritakan
sebelumnya, bahwa kehilangan tidak pernah menjadi hal yang mudah. Ia tidak pernah
menunggu kita siap karena pada hakekatnya kita tidak pernah siap untuk sebuah
kehilangan. Merelakan adalah sebuah keniscayaan yang mau tidak mau kita jalani.
Menafikannya hanya akan membuat luka akibat kehilangan tersebut semakin terinfeksi
dan tidak dapat sembuh. Bagaimanapun kita menyesali, menyalahkan diri, dan
menangisi mereka yang telah hilang, tidak dapat mengembalikan keadaan seperti
sedia kala.
Inilah hidup. People come and
go
. Sebagaimana  ucapan Thor: “Satu-satunya
hal yang permanen di dunia ini adalah kefanaan”. Pertemuan selalu mewajibkan
adanya perpisahan, cepat atau lambat. Namun tidak berlaku sebaliknya. Perpisahan
tidak selalu menjanjikan pertemuan di masa yang akan datang. Bahkan, ketika
pertemuan tersebut telah terjadi di masa depan, situasi dan kondisi yang
berlangsung tidak seindah yang kita jalani hari ini.
Dari berbagai ekspresi kehilangan
tersebut, barangkali salah satu sikap hebat dalam menyikapi kehilangan seperti
yang dicontohkan oleh Steve Rogers. Ia berkumpul dengan teman-teman yang juga telah
banyak kehilangan. Ia berkata kepada mereka:”Dunia di tangan kita. Dunia ini
ditinggalkan kepada kita untuk suatu alasan. Maka, kita harus berbuat sesuatu”.
Kata-kata tersebut dapat ia katakan karena ia telah lama melihat bagaimana para
prajurit harus kehilangan sahabat karib atau keluarga di medan perang. Ia sudah
terbiasa dengan berbagai kehiangan tersebut.
“Kita boleh bersedih selama 2
minggu mengenang mereka yang telah pergi. Namun selanjutnya, kita harus segera
melanjutkan hidup, suka atau tidak” ujar Steve Rogers kepada Natasha Romanoff. Kata-kata
motivasi ini tidak hanya ditujukan untuk menyemangati Natasha, melainkan lebih
kepada usaha menguatkan diri dan menguasai diri. Sebagai pemimpin, ia dituntut
untuk dapat menjadi kuat di saat anggota timnya merasa rapuh dan menjadi sandaran
di saat anggota timnya merasa goyah.
Lebih ideal adalah hal yang
dilakukan oleh Bruce Banner. Pria yang memiliki masalah dengan emosinya ini
juga cukup terpukul dengan kejadian tersebut. Ia justru mengalami kekalahan
yang lebih dalam karena harus kalah sebanyak dua kali, kalah sebagai Banner dan
kalah sebagai Hulk. Alih-alih menyakiti dirinya, ia memilih untuk melakukan
introspeksi diri atas apa yang terjadi di masa lampau. Ia mencoba berdamai
dengan kenyataan dan berlatih menjadi pribadi yang lebih baik. Walhasil, ia
mampu mengendalikan emosi yang selama ini menjadi momok baginya dan menjalani
hidup-hidup dengan lebih banyak keceriaan dan optimisme.
Pada masanya, kita juga akan
berada di posisi mereka. Ini semua hanya masalah waktu. Setelah menyaksikan
film tersebut dan memahami berbagai ekspresi dari kehilangan tersebut, sudahkah
kita tentukan cara terbaik untuk menyikapi kehilangan?

Ponorogo,
27 Sya’ban 1440

4 thoughts on “Belajar Kehilangan dari The Avengers: Endgame”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top