Dialog Antara Sains dan Agama Dalam Pandangan Haidar Bagir dan Ulil Abshar Abdalla

Data
Buku

Judul               : Sains “Religius”, Agama
“Saintifik”

Pengarang      : Haidar Bagir dan Ulil Abshar Abdalla

Penerbit          : Penerbit Mizan

Tahun
Terbit   : 2020 (Cet.I)

Tebal
Buku      : 172 h (21 cm)

Perbincangan
antara sains dan agama selalu menarik untuk ditela’ah. Meski demikian, obrolan
keduanya seringkali diakhiri dengan debat kusir yang tidak memberikan solusi
apalagi kontribusi. Superioritas sains dan perasaan inferior dari agama membuat
obrolan keduanya didahului oleh sikap kecurigaan dan berakhir dengan
falsifikasi pihak lain.


Buku
ini hadir dari kegelisahan penulis dari “obrolan” kurang sehat antara keduanya.
Seperti yang ditemui penulis tentang apa yang disebut scientific boasting
(kepongahan saintis). Sebagai catatan penting sebelum melangkah lebih jauh, ada
perbedaan mendasar dari dua terma penting di dalam buku ini, yaitu sains dan
saintisme. Sains merupakan suatu statement mengenai fakta kealaman yang
didukung oleh bukti-bukti yang kukuh. Adapun saintisme adalah ideologi yang
dipeluk oleh para praktisi sains dengan mengatasnamakan sains sebagai
satu-satunya sumber kebenaran (Bagir dan Abdalla, 2020: 109-110).

Ideologi
ini tidak lahir begitu saja, ada sejarah pergumulan panjang di baliknya. Salah
satunya adalah sejarah kelam dominasi gereja atas ilmu pengetahuan pada masa
Abad Pertengahan. Renaissance sebagai penanda kebangkitan ilmu
pengetahuan secara tidak langsung mempertanyakan posisi agama di ranah
kehidupan manusia. Bagi mereka, sains adalah jalan keluar yang dibutuhkan di
dalam hidup manusia, bukan hanya “ceramah-ceramah penenang” dari khutbah para
pemuka agama yang abstrak. Pendek kata, produk ilmu pengetahuan dan teknologi
terlepas dari sumbangsih agama (Muslih, 2017: 101).


Agama
dinilai tidak lagi relevan dengan kehidupan dan kebutuhan manusia yang serba
modern. Sebagaimana disebutkan oleh Komaruddin Hidayat (2020: 174), agama
sangat spekulatif dan sulit diverifikasi kebenarannya. Adapun fondasi
modernitas adalah rasionalisme dan empirisme yang hasil kerjanya serba terlihat
dan dirasakan langsung oleh manusia. Hal ini menyebabkan modernitas dan
saintisme melahirkan banyak ateis baru atau ateiGod’s Not Deadsme model baru. Mereka
merasakan bahwa kerja Tuhan dan agama tidak terasa dan tidak signifikan dalam
kehidupan manusia modern (Hidayat, 2020: 174). Dalam  film “God’s Not Dead” (2014), agama
digambarkan sebagai suatu virus pikiran yang diwariskan orang tua kepada anak
cucu mereka. Virus ini yang membatasi ruang kreativitas rasio manusia dalam
mencapai kebenaran.

Hal
ini diperparah dengan lahirnya norma-norma ilmiah sebagai garis demarkasi
antara hal yang ilmiah dan non-ilmiah. Mulai dari refleksi filsafat Auguste
Comte, prinsip verifikasi meaningfull dan meaningless dari filsuf
Lingkaran Wina, hingga falsifikasi dari Karl Popper sebagai standar ilmiah. Hal
ini secara tidak langsung menciptakan lingkaran eksklusif yang menolak
kebenaran dari selain norma-norma ilmiah tersebut (Muslih, 2017: 103).

Sebagaimana
tertulis dalam judul buku ini, bahwa agama dan sains merupakan dua jalan dalam
memperoleh kebenaran. Kepongahan saintis dimulai dengan “memonopoli kebenaran”
sehingga menjadikan sains sebagai satu-satunya sumber kebenaran yang eksklusif.
Padahal, sebagaimana tertulis di “pendahuluan”, mengutip Morris Berman, bahwa
99% cara manusia mendapatkan pengetahuan dan memahami realitas adalah dengan hal-hal
yang disebut sebagai suprarasional, imajinatif, dan mistis, dan bukannya dengan
metode ilmiah (Bagir dan Abdalla, 2020: 25).


Hal
ini yang coba dikomentari oleh Gus Ulil dalam menjawab “aja
kan” Dawkins dan
kawan-kawannya yang menolak keberadaan Tuhan dan meninggalkan agama. Solusi
yang ditawarkan Dawkins dan Sam Harris seakan menegaskan bahwa inilah saatnya akhir
dari kepercayaan pada agama. Karena menurutnya – seperti yang digambarkan John
Lennon dalam
Imagine – bahwa tanpa adanya agama, dunia akan terhindar
dari pertumpahan darah, teror, dan kebencian (Harris, 2004).


Hal
menarik di dalam buku ini adalah solusi yang ditawarkan oleh Pak Haidar, yaitu
fakta “pertentangan” antara sains dan agama tidak selalu harus diakhiri dengan
Islamisasi Sains. Agama dan sains yang muncul dalam sejarah keemasan Islam
bukanlah sesuatu yang terpisah satu sama lain. Keduanya memiliki hubungan yang erat,
khususnya dalam rangka mencapai satu tujuan bersama, yaitu meraih kebenaran,
atau dalam bahasa lainnya adalah sama-sama ingin mencari makna (Muslih, 2017:
142). Sains memiliki subjektivitas dan logika “makna” khas agama (Muslih, 2017:
142), yang dalam bahasa pak Haidar sebagai produk khayal dan agama juga
memiliki aspek saintifik khas sains (Bagir, 2019: 105 dan 111).



Yang
diperlukan hari ini adalah apa yang disebut sebagai reintegrasi, antara sains,
filsafat, dan agama dengan porsi dan batasan masing-masing sebagai tiga tatanan
aktivitas intelektual (Arkoun, 1996: 133). Tiap disiplin ini akan memperoleh
kebenaran dengan cara-cara yang dapat dipertanggungjawabkan oleh
disiplin-disiplin itu. Yang menjadi dalang dalam pertentangan sains dan agama
adalah pola pikir fanatisme yang disebut di Gus Ulul sebagai Qutbisme yang
hanya akan melahirkan eksklusivisme dan truth claim antar keduanya. Dalam
bahasa Muslih (2017: 142), sains dan agama sejatinya dapat saling mengisi dan
bertemu dalam wilayah metodologi.

Di
sinilah kelebihan buku ini. Buku “ringan” yang mengangkat isu “berat”. Dengan
bahasa yang mudah dipahami, kedua penulis ini mencoba mendudukkan agama dan
sains dalam posisi masing-masing, dengan pandangan inklusif dan tangan terbuka.
Dengan demikian – meminjam
nidzam al-usrah Hasan al-Banna – agama dan
sains dapat saling berkenalan (
ta’āruf), kemudian saling memahami (tafāhum),
dan akhirnya saling mengisi dan menguatkan untuk menciptakan kesejahteraan umat
manusia (
takāful).

 

 

 Daftar
Pustaka

Haidar
Bagir. 2019. Mengenal Tasawuf: Spiritualisme Dalam Islam. Jakarta: Noura
Books

Haidar
Bagir dan Ulil Abshar Abdalla. 2020. Sains “Religius”, Agama “Saintifik”.
Bandung: Penerbit Mizan.

Komaruddin
Hidayat. 2018. Iman Yang Menyejarah. Jakarta: Noura Publishing.

Mohammad
Muslih. 2017. Falsafah Sains: Dari Isu Integrasi Keilmuan Menuju Lahirnya
Sains Teistik
. Yogyakarta: LESFI.

Mohammed
Arkoun. 1996. Rethinking Islam. Terj. Yudian W Asmin dan Lathiful
Khuluq. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sam
Harris. 2004. The End of Faith: Religion, Terror and the Future of Reason.
New York: W.W. Norton & Company.

 

Film
God’s Not Dead” . 2014. Pure Flix Entertainment

 

      

 

 

1 thought on “Dialog Antara Sains dan Agama Dalam Pandangan Haidar Bagir dan Ulil Abshar Abdalla”

  1. mencerahkan, inspiratif dan menyejukkan. dengan semangat bhineka tunggal ika. meski pun mempunyai porsi dan komposisi yang berbeda. tetapi ada kesepakatan bersama untuk saling sapa, bersinergi untuk kemanfaatan bersama. tidak adigang adidung, tidak melengos atau menjep kepada yg lainnya.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top