Konstruksi Koeksistensi Islam-Hindu: Belajar dari Film Bajrangi Bhaijan

Salah satu media komunikasi massa
di zaman modern ini adalah film. Di era digital ini, pesan yang disampaikan
melalui sebuah tayangan televisi atau berbentuk film dapat disampaikan kepada
berbagai kalangan masyarakat dengan waktu yang singkat. Hal tersebut
merupakan  hal yang  tidak mungkin dilakukan oleh berita tertulis
(Nayyar, 2007: 4). Selain itu, berita yang disampaikan oleh film lebih kompleks
dari berita yang tertulis karena pesan yang disampaikan 
dapat berupa verbal dan
non-verbal. Pesan verbal terdiri dari dialog, narasi, dan tulisan. Adapun pesan
non-verbal dapat berupa perilaku, karakter, ekspresi, penampilan, pencahayaan,
sudut pengambilan gambar, music latar, warna, dan tanda lain yang  memiliki arti tertentu dalam film tersebut
(Surwati, 2012: 3-4).


            Film
juga merupakan produk budaya populer yang memiliki dua fungsi, yaitu sebagai
konstruksi realitas dan representasi realitas sosial budaya. Fungsi yang
pertama seringkali menampakkan satu sisi dari berbagai macam realitas yang ada
dengan  tujuan menggiring opini para
penonton sesuai dengan arah dan keinginan pembuat film (produser, penulis
skenario, dan sutradara) (Nayyar, 2007: 5-6).
            Fungsi
kedua adalah  sebagai representasi dari
realitas sosial yang ada. Beberapa isu dan kegelisahan seringkali tidak dapat
diungkapkan secara langsung karena beberapa kepentingan dan pertimbangan. Salah
satu bentuk representasi dan media untuk menyampaikan pesan tersebut adalah
melalui film. Menurut Arnold, hubungan antara film sebagai media representasi
dan isu yang berada di realitas merupakan hubungan dua arah. Di satu sisi film
dan tayangan televisi merupakan gambaran nyata dari realitas sosial budaya dan
perubahan politik yang ada, dan di lain sisi, namun seringkali politik dan
kejadian di kehidupan nyata terpengaruh dengan visi dan alur cerita yang ada di
film (Arnold, 2008: 10).
            Dalam
memupuk kerukunan dan koeksistensi antar umat beragama, perlu diciptakan sebuah
momen pengingat. Bila terpaksa, momen tersebut perlu dikonstruk sedemikian rupa
agar tercipta kerukunan dan koeksistensi (Yahya, 2017: 132). Salah satu film
yang mengangkat isu tersebut adalah Bajrangi Bhaijan. Film drama komedi India
yang diproduksi 2015 ini mengangkat isu hubungan ‘kurang’ harmonis antara India
dan Pakistan. Selain perbedaan ideologi dan agama, sejarah kelam antara kedua
negara juga sering menghantui penduduk di kedua negara.
            Film
ini bercerita tentang perjalanan seorang pemuda India yang merupakan penyembah
Bajrangbali (Dewa Hanuman) mengantar seorang gadis bisu asal Pakistan yang
tersesat di Kurukshetra. Dalam perjalanannya yang tidak mudah karena perbedaan
identitas antara keduanya, tidak menyurutkan niat Pawan (Salman Khan) untuk
menemukan orang tua Munni (Harshaali Maholtra) di Pakistan. Berbagai realitas
dikonstruk dalam perjalanan tersebut, mulai dari perbedaan makanan, perbedaan
tempat ibadah, perbedaan kebiasaan, hingga perbedaan identitas tidak
menghalangi perbuatan baik seseorang yang menghargai nyawa seorang anak kecil
yang tidak dikenal.
            Oleh
karenanya, mahasiswa Prodi Studi Agama-Agama (SAA) UNIDA Gontor menggelar acara
“Nonton Bareng” bertajuk ‘Belajar Toleransi dan Koeksistensi dari Bajrangi
Bhaijan’ pada Sabtu (17/2) bertempat di perpustakaan Center of Islam and
Occidentalism Studies
(CIOS). Acara yang diselenggarakan oleh Himpunan
Mahasiswa Prodi (HMP) ini dihadiri 25 mahasiswa prodi SAA dan beberapa
mahasiswa dari prodi lain dibawah bimbingan al-Ustadz Muhammad Nur Rosyid Huda
Setiawan, MIRKH dan al-Ustadz Yuangga Kurnia Yahya, M.A. selaku staff pengajar.

            “Alhamdulillah
acara ini dapat berlangsung dan mendapat dukungan dari dosen dan CIOS sendiri”
ujar Adib selaku penanggungjawab acara dari HMP prodi SAA. “In syaa Allah
ke depannya kita akan adakan acara serupa di sela jadwal diskusi dwipekanan
atau FOKSAA (Forum Kajian Studi Agama-Agama)” tambahnya lagi.
            “Saya
melihat banyak pelajaran yang bisa kita petik dari film ini. Selain sebagai
hiburan, hendaknya kita melihat film dari berbagai pesan kebaikan yang ada.
Film ini, meskipun banyak diselingi komedi, namun pesan intinya sangat kuat,
yaitu seharusnya semakin religius seseorang, akan semakin humanislah ia.
Perbedaan suku, budaya, agama, bahkan negara tidak menjadi penghalang bagi
seseorang dalam menyebarkan pesan kedamaian dan menyemai kebaikan” pesan
al-Ustadz Yuangga Kurnia Yahya, M.A. dalam epilog penutup acara nobar. (yahya)
Daftar Pustaka:
Arnold, Gordon B. 2008. Conspiracy
Theory In Film, Television, and Politics
. United States: Greenwood
Publishing Group, Inc.
Nayyar, Deepak. 2007.   Modern Mass Communication (Concepts and
Processes)
. Jaipur: Oxford Book Company.
Surwati, Chatarina Heny Dwi. 2012.
Konstruksi Feminisme dalam Film Indonesia (Analisis Wacana Kritis
Konstruksi  Feminisme dalam Film
Indonesia Karya Nia Dinata) dalam Jurnal Komunikasi Massa, Vol 1, No. 1
tahun 2012, Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS.

Yahya, Yuangga Kurnia. 2017. Agama
dan Masyarakat
. Jakarta: Nulisbuku.com (self-publishing).

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top