Friend in Love

Hari-hari ini, saya sering mendengarkan lagu-lagu dari grup musik Geisha yang baru
dirilis. Usut punya usut, ternyata lagu-lagu tersebut diangkat menjadi OST film
Indonesia yang sedang tayang di bioskop, berjudul ‘Antologi Rasa”. Film
bertemakan kisah cinta dan komedi ini dibintangi oleh Herjunot Ali, Carissa
Peruset, dan Refal Hady. Film ini mengangkat kisah empat sahabat yang saling
menyukai, namun mereka yang disukai tidak menyadarinya. Dalam bahasa sekarang,
bisa disebut ‘friendzone’.

Saya
pribadi belum menonton film tersebut. Namun berdasarkan trailer film yang telah
dipromosikan saya sedikit banyak sudah tahu ke mana arah film tersebut.
Sebagaimana kelemahan trailer film-film saat ini, informasi yang disajikan
kepada penonton justru terlalu banyak dan membaut penonton kehilangan rasa
penasaran dan ingin tahu untuk menonton film tersebut. Saya juga menyaksikan
beberapa review dari pengamat dan kritikus film terkait film besutan sutradara
Rizal Mantovani tersebut.

Dari
berbagai sumber tersebut, saya menyimpulkan bahwa film tersebut mengangkat
kisah dari novel karya Ika Natasa, penulis novel serupa ‘Critical Eleven’.
Menurut para pembacanya, novel tersebut memiliki kisah yang sangat menyentuh.
Bahkan, tidak sedikit yang menganggap bahwa kisah tersebut berasal dari kisah nyata.
Kisah tentang bagaimana sulitnya saat menyukai seseorang dan kebetulan dia
adalah teman sendiri. Orang yang telah tahu baik buruknya sifat kita. Namun,
sayangnya ia tidak menyadari hal tersebut dan mulai menyukai orang lain.
Mungkin bagi sebagian orang ini hanya kisah drama percintaan anak remaja.
Namun, tidak sedikit kejadian serupa terjadi di alam nyata.

Kisah
tentang persahabatan yang melahirkan benih-benih cinta bukanlah hal baru.
Namun, ia selalu mampu menyedot emosi para penontonnya, entah karena kesamaan
peristiwa yang dialami atau karena jalan cerita yang terlampau sedih. Kita
tentu masih ingat benar saat era film Bollywood memasuki babak baru yang
ditandai dengan film ‘Kuch Kuch Hota Hai”. Film yang dibintangi oleh
Shahrukh Khan dan Kareena Kapoor ini booming di awal 2000an dan menjadi
pintu masuk dari film-film Bollywood bertema baru ke tanah air. Film ini juga
mengangkat isu serupa.

Beberapa
film lain yang saya tonton juga memiliki tema serupa. Mulai dari “5 cm”, “Love
Forecast”, “500 Days of Summers”, “My Heart”, “You Are The Apple of My Eyes”,
“Teman Tapi Menikah” hingga “Antologi Rasa”. Berbagai lagu Indonesia juga
mengambil tema serupa dengan video klip yang cukup menyentuh hati para
penontonnya. Mengapa tema ini masih relevan hingga saat ini?

Saya
juga tidak terlalu paham tentang alasan tema ini masih relevan. Saya berasumsi
bahwa tema ini masih lekat dengan masyarakat kita saat ini. Saya tidak akan
berbicara tentang banyak hal terkait tema tersebut. Saya hanya ingin berbicara
tentang mengapa jatuh cinta kepada teman sendiri nyatanya sangat sulit dan
menjadi dilema?

Rasa
suka, ketertarikan, kecenderungan, rasa sayang, dan cinta adalah fitrah manusia
dan juga makhluk hidup. Banyak kata-kata bijak dan pepatah yang mengatakan
bahwa ia tidak dapat diatur. Rasa itu dapat hadir kapan saja, menguat kapan
saja, melemah kapan saja, bahkan menghilang kapan saja. Rasa itu juga tidak
memiliki aturan baku dari mana ia datang dan kepada siapa ia datang.

Sebuah
pepatah Jawa berbunyi ‘Witing Tresno Jalaran Soko Kulino” ‘rasa cinta
itu tumbuh karena terbiasa’. Dua orang yang berteman pasti akan selalu bertemu,
biasa bercanda bersama, bahkan hapal kebiasaan masing-masing. Bukan tidak mungkin
akan tumbuh benih-benih suka. Bila kurang beruntung, benih cinta hanya akan
tumbuh di satu sisi dan tidak di sisi lainnya. Raditya Dika penah berkata bahwa
dalam hubungan pria-wanita dewasa, tidak pernah ada pertemanan yang tulus. Menurutnya,
salah satu atau keduanya akan memiliki rasa suka dan ingin menjadi lebih dari
sekedar teman.

Berbagai
kisah hubungan cinta kepada teman sendiri memiliki banyak akhir. Ada yang
berakhir bahagia seperti ‘Teman Tapi Menikah’ dan ‘Love Forecast’. Ada yang berakhir
dengan cinta yang tidak tersampaikan hingga akhir seperti ‘500 Days of Summer’.
Kebanyakan, berakhir dengan perpisahan dan penyesalan di akhir seperti ‘Antologi
Rasa’ dan ‘Critical Eleven’.

Berbagai
kisah film tersebut juga banyak teraplikasikan dalam hidup ini. Mengungkapkan
rasa kepada orang yang telah menganggap kita sebagai teman baik memilki potensi resiko yang cukup signifikan. Sejatinya, akan ada 3 bentuk hubungan ketika perasaan
tersebut diungkapkan. Pertama, mereka bisa menerima kenyataan dan mulai melanjutkan
hidup bersama. Kedua, keduanya tidak dapat bersatu sebagai sepasang
kekasih dan tetap bersama sebagai teman. Ketiga, keduanya tidak lagi
berteman, bahkan bertegur sapa pun mereka tak kuasa.

Potensi resiko yang besar inilah yang membuat banyak kisah cinta tak tersampaikan demi menjaga
persahabatan dan pertemanan yang lebih dulu terjalin antara mereka. Memang
tidak mudah untuk menahan rasa yang ada dan tidak pernah tersampaikan. Namun,
bayangan akan rusaknya persahabatan dan berpotensi besar menjadi pertengkaran seringkali
lebih kelam dari rasa yang tak tersampaikan tersebut.

Semua
pendapat di atas hanyalah pendapat saya pribadi yang sangat subyektif. Bila
anda berbicara dengan tuntutan Islam, hal tersebut sejatinya tidak ada. Para pria
dan wanita yang memiliki rasa suka kepada lawan jenisnya, baik teman, kerabat,
maupun orang yang belum dikenalnya hanya diberikan dua pilihan: halalkan atau
tinggalkan. Kedua pilihan yang saya rasa amat mudah diucapkan, namun cukup
sukar untuk dipraktekkan. Namun, bukan berarti saya tidak setuju dengan
peraturan tersebut. Saya mendukung 100% pemberian 2 pilihan tersebut untuk
menghindari berbagai efek buruk bila keduanya tidak segera memberi kepastian.

Lain
kisah, lain pula permasalahan yang dihadapi. Seorang kawan pria memilih menjauhi
teman wanitanya karena banyaknya kabar tak sedap yang menghinggapi pertemanan
mereka berdua. Entah teori Raditya Dika berlaku atau tidak di sini. Yang jelas,
keduanya merasa mereka hanya sebatas teman dan tidak lebih. Namun, berbagai
spekulasi dan rumor beredar di khalayak ramai terkait kedekatan mereka. Terlebih
salah satunya merupakan orang yang terkenal baik dalam menjaga diri dan tidak
pernah ditimpa gosip terkait hubungan dengan lawan jenis.

Saya
tidak tahu persis bagaimana akhir kisah tersebut. Pastinya, kawan pria saya
mulai mengurangi (bahkan menghindari) kontak dengan teman wanitanya. Memang berat,
namun terkadang tidak ada pilihan yang lebih mudah dari itu. Ketika rasa nyaman
keduanya sebagai teman harus disalahartikan oleh orang-orang di sekitar mereka,
maka inilah jalan terbaik untuk menjaga nama baik mereka.

Orang-orang
di sekitar mereka memberikan nasihat untuk segera melanjutkan kisah pertemanan
mereka ke jenjang yang lebih serius. Namun, bukan itu intinya. Bila memang
mereka memiliki kesamaan rasa, toh mereka akan melanjutkannya ke jenjang
lebih serius. Bila memang mereka tidak memiliki niatan untuk ke sana, selayaknya
kita para netizen membiarkan saja pertemanan mereka terjalin.

Dalam
suatu fenomena ‘kita cuma temen’, akan ada hati yang berharap lebih dan hati
yang siap untuk jatuh dan hancur berkeping-keping. Namun, setidaknya
mengungkapkan rasa yang terpendam lebih membuat kita lega. Sebagaimana guru
saya selalu berkata tentang pepatah Arab yang memiliki arti ‘Jujur itu
melegakan’. Bila memang belum berjodoh dan bertepuk sebelah tangan, berarti
itulah suratan takdir kita. Bila memang berjodoh, bukankah kita sudah terbiasa
hidup nyaman dengannya?

Namun,
lagi-lagi ini hanya perspektif pribadi. Bila seseorang ingin memendamnya dan
membunuh rasa tersebut, maka hormatilah pilihannya. Hanya seorang manusia
sejati yang 
siap memilih dan bertanggung jawab atas efek dari pilihannya.

Selamat
mencoba

Samarinda,
Ngawi, Jogjakarta, dan Ponorogo dalam rentetan kisah cinta yang tersampaikan.
Tak semua rasa harus diungkapkan

Ada rasa yang tak pantas diungkap, memendamnya merupakan
keharusan
Ada rasa yang tak terungkap, memendamnya merupakan pilihan
yang berat
Ada rasa yang baiknya tak diungkap, memendamnya merupakan
pilihan bijak
Ada rasa yang harus diungkap, memendamnya merupakan tindakan
bodoh
Percayalah
Ini semua baik untuk rasa itu sendiri
Tentunya bagi kita, si pemilik rasa

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top