Hari ini adalah hari pertama di sistem penanggalan Hijriah yang telah menunjukkan tahun 1442. Beberapa hari sebelumnya, seluruh bangsa Indonesia baru saja merayakan hari jadi Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-75. Kedua peringatan penting ini semakin terasa di kehidupan penduduk Indonesia karena hanya berjarak beberapa hari dan keduanya berwarna merah di kalender, alias libur nasional. Tentu saja hal ini menjadi momen menarik untuk sekedar merehatkan diri di antara rutinitas kehidupan harian.
Rehat ini menjadi momentum bagi kita semua untuk berhenti sejenak dan melihat apa-apa yang telah berlalu dalam rangka mempersiapkan hari-hari yang akan datang. Pada dasarnya, manusia adalah makhluk momentum. Mereka menciptakan momentum, mencari momentum, dan memanfaatkannya sebaik mungkin. Oleh karena itu, momen kemerdekaan bangsa ini dan momen hijrahnya Sang Pembawa Risalah Islam merupakan momentum mahal yang perlu dimaknai, diambil hikmahnya, dan diimplementasikan dalam kehidupan.
Kemerdekaan adalah sifat dasar manusia sejak diciptakan. Sang Pencipta menciptakan manusia dengan menganugerahkan mereka kebebasan penuh untuk berpikir, berkata, dan berbuat dengan adanya dua potensi, potensi ketaatan dan potensi hawa nafsu. Hal ini tentu saja berbeda dengan makhluk ciptaan lainnya yang hanya dianugerahi satu potensi tersebut. Malaikat dengan ketaatannya yang tiada henti, Jin dengan hawa nafsunya yang membara, dan hewan dengan instingnya yang alami. Manusia merupakan makhluk dengan perpaduan dari seluruh potensi tersebut.
Sebagaimana tersurat di dalam Kitab Suci, manusia selalu diberikan oleh Sang Pencipta kebebasan untuk memilih. Mereka bebas memilih untuk taat atau maksiat, tunduk atau membangkang, bersyukur atau kufur, bahkan, percaya atau tidak percaya. Mereka memegang kendali penuh atas pilihan-pilihan tersebut, tentunya dengan konsekwensi yang menyertainya. Karenanya, dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 disebutkan bahwa kemerdekaan merupakan hak segala bangsa dan segala bentuk penjajahan merupakan bentuk pemasungan atas perikemanusiaan tersebut.
Namun sayangnya, kemerdekaan tersebut seringkali terjebak pada kemerdekaan yang destruktif. Banyak pihak yang mengartikan merdeka adalah berbuat sebebas mereka, tanpa aturan dan tanpa rambu. Mereka beranggapan bahwa kemerdekaan mereka untuk berpikir, berkata, dan berbuat tidak dapat dibatasi oleh apapun dan siapapun. Kemerdekaan mereka tidak berbatas dan tidak terbatas. Bahkan, mereka tidak peduli bila tingkah mereka justru merampas kemerdekaan pihak lainnya.
Hal inilah yang menodai kebebasan individu manusia dalam arti yang sesungguhnya. Charles Taylor menyebutkan bahwa seorang individu (the self) memiliki dua aspek penting yang menandai kebebasan mereka, yaitu individu yang tidak terikat (the disenganged self) dan koreksi atas apa yang telah dilakukan (strong evaluator). Kedua aspek ini menjadi pemarka seorang individu yang merdeka dalam arti yang sesungguhnya.
Kemerdekaan seorang manusia adalah kemerdekaannya dari paksaan pihak luar untuk melakukan sesuatu, termasuk hawa nafsunya. Hawa nafsu memiliki kecenderungan untuk menuju kepada kerusakan (an-nafs al-ammarah bi as-Su’). Ketika manusia merdeka merasa merdeka untuk berbuat segala hal yang dikehendaki hawa nafsunya, maka pada saat itulah ia menjadi budak yang dijajah oleh hawa nafsunya. Bahkan, penjajahan ini jauh lebih destruktif dari penjajahan fisik karena manusia tidak sadar bahwa mereka sejatinya terjajah. Mereka tidak memiliki kemerdekaan untuk memilih mana yang perlu dilakukan dan mana yang tidak perlu dilakukan. Bahkan, mereka mulai mengaburkan batasan moral antara yang baik dan buruk. Di sinilah penjajahan yang tiada akhir bermula.
Ketika hawa nafsu menguasai manusia, maka akal dan seluruh anggota tubuhnya tidak bergerak berdasarkan kehendak bebas si empunya, melainkan berada di bawah kendali hawa nafsu. Syeikh al-Bushiry dalam Qasidah Burdah mengumpamakan hawa nafsu seperti bayi yang tetap menyusu kepada ibunya meski telah melampaui usia 2 tahun. Semakin ia dibiarkan, maka makin sulit bagi bayi tersebut untuk melepaskan ketergantungannya untuk menyusu kepada ibunya. Sebaliknya, ketika bayi tersebut dipaksa untuk disapih, meski di awal terasa berat, lama kelamaan bayi tersebut dapat terlepas mutlak dari kebutuhannya menyusu kepada ibunya. Hal ini memberikan pesan bahwa menuruti hawa nafsu tak ubahnya menjadi suatu pekerjaan yang tidak ada habisnya. Satu keinginan yang telah dituruti akan melahirkan keinginan-keinginan lainnya sehingga membuatnya sulit keluar dari penjajahan tersebut. Inilah yang membuat Nabi menyebut perang melawan hawa nafsu adalah al-Jihād al-Akbar.
Momentum hari ini adalah kilas balik peristiwa hijrahnya Nabi Pembawa Risalah Kemanusiaan yang terakhir dari Mekkah ke Madinah. Peristiwa yang terjadi pada 14 abad silam tidak sekedar perpindahan tempat tinggal, melainkan perpindahan kondisi dari penjajahan kaum musyrik di Mekkah menuju bangsa yang merdeka di Yatsrib. Perpindahan ini memberikan dampak yang luar biasa dalam sejarah kehidupan umat Islam dan bangsa Arab secara khusus, dan umat manusia secara umum. Perpindahan ini memberikan perubahan pesan dalam wahyu dan perubahan penyampaian wahyu, yang kemudian dikenal sebagai surah Makkiyah dan Madaniyyah dengan keunikan masing-masing dan saling melengkapi dimensi kehidupan manusia.
Hijrah juga sering diidentikkan dengan perubahan menuju kebaikan. Tidak seluruh perubahan disebut sebagai hijrah. Penyebutan ini dikhususkan kepada gerakan perubahan menuju arah yang lebih baik. Ustadz Khasib Amrullah, guru saya, menegaskan bahwa proses ini bukan hanya proses yang terjadi dalam satu kali dalam satu masa kehidupan, melainkan proses yang berkesinambungan dan berkelanjutan. Hidup, sejatinya merupakan perpindahan dari satu bilangan masa ke bilangan masa lainnya, dari satu momentum ke momentum lainnya, dari satu tarikan nafas ke tarikan nafas lainnya, dan dari satu detakan jantung ke detakan lainnya.
Namun, perpindahan tersebut tidak bermakna ‘hijrah’ bila berada dalam satu jalur statis, atau justru menuju ke arah yang lebih buruk. Hal ini terkandung dalam sabda Nabi bahwa seorang yang beruntung adalah mereka yang “jika, dan hanya jika” hari ini lebih baik dari hari yang telah lalu. Sebaliknya, mereka yang dalam hari ini masih sama dengan hari kemarin atau justru lebih buruk, maka ia adalah orang yang merugi, bahkan terlaknat.
Hijrah dalam kehidupan inilah yang disebut Budhy Munawwar Rachman dalam pengantarnya di buku “Iman Yang Menyejarah” karya Komaruddin Hidayat sebagai lompatan-lompatan kualitatif dalam hidup manusia. Fisiknya tidak berubah secara signifikan, namun kualitasnya sebagai manusia semakin bertambah hingga mencapai derajat manusia yang sempurna (insan kamil). Lompatan kualitatif ini dapat meningkatkan kualitas ketaatan manusia sehingga melampaui malaikat atau justru sebaliknya, meningkatkan kualitas insting hewani dan hawa nafsu sehingga melampaui hewan dan jin. Hijrah dalam diri inilah yang di kemudian hari menjadi penanda kualitas diri seseorang yang diekspresikan dalam atqākum, ahsanu ‘amala, ahsanu khuluqon, dan khairu an-Nās.
Hijrah dalam kemerdekaan adalah suatu usaha melepaskan diri dari penjajahan hawa nafsu. Bila kemerdekaan telah diraih, maka proses selanjutnya adalah hijrah dari sekedar the disenganged self kepada strong evaluator. Proses ini yang disebut Charles Taylor sebagai refleksivitas diri. Pribadi yang merdeka harus berani mengambil tindakan, sikap, dan ucapan dengan penuh kesadaran (consciousness) akan seluruh konsekwensinya. Pilihan yang diambil berdasarkan pada pertimbangan empiris, rasio (akal), dan di bawah bimbingan hati. Setelah ia memilih dan menjalani pilihannya, ia harus menjadi orang pertama yang mengevaluasi kinerja hidupnya. Evaluasi yang dilakukan ini meliputi kekuatan diri (strength), kelemahan diri (weakness), peluang dalam lingkungan (opportunity), dan tantangan dalam lingkungannya (treat). Hasil evaluasi inilah yang menjadi baseline posisi diri dalam penentuan arah perubahan diri menuju perbaikan kualitas hidup.
Dalam menjalani kehidupannya, manusia tidak memiliki asesor khusus atau bahkan biro khusus yang mengawasi pencapaian dirinya. Di sinilah manusia diberi kebebasan untuk menentukan visi hidupnya, indikator kinerja hidupnya, dan instrumen penilaian yang digunakan sekaligus mereka menjadi asesor (strong evaluator) yang mengevaluasi pencapaian hidup, menganalisis faktor pendukung-penghambat, dan mengukur output-outcome yang diberikan kepada dirinya dan dunia di sekitarnya. Hal ini pula yang disinggung Umar bin Khattab dengan “hisablah dirimu sebelum kalian dihisab (di hari Kiamat)”. Penilaian inilah yang menjadi landasan untuk menetapkan target perubahan-perubahan ke arah kebaikan dalam hidup.
Tentu saja penilaian ini harus merdeka dari jeratan hawa nafsu yang mengaburkan garis batas antara baik dan buruk. Penilaian ini berlandaskan pada Triple H, Hand (pengalaman empiris), Head (rasio/akal), dan Heart (hati). Hati memegang peranan penting dalam menggiring pengalaman empiris dan rasio kepada sumber kebenaran sebagai landasan moral dan tidak terjebak pada pembenaran. Karenanya, tidak berlebihan bila Nabi bersabda bahwa jika hati ini baik, maka seluruh tubuh akan menjadi baik, sebaliknya, bila ia buruk, maka seluruh tubuh akan terpapar keburukan. Hal ini pula yang membuat Nabi meminta kita untuk bertanya kepada hati kita tentang kepatutan akan suatu tindakan (Istafti Qalbaka). Ketika hati telah bebas dari belenggu hawa nafsu, maka inilah kemerdekaan yang sesungguhnya.
Akhir kata, Gus Nadir, di dalam akun IGnya mengatakan bahwa jika “merdeka” merupakan kata kerja, maka itu artinya tidak ada kata selesai dalam bekerja untuk menjadikan kita merdeka. Hal ini senada dengan tulisan Habib Husein Ja’far al-Hadar dalam bukunya “Tuhan Ada di Hatimu” bahwa Hijrah itu koma, bukan titik. Hijrah adalah sebuah proses menuju kemerdekaan diri dari penjajahan hawa nafsu. Proses ini merupakan long-life process yang menghasilkan sustainable freedom.
Merdeka
1 Muharram 1442
Pingback: Peran NU dalam Menjaga Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia - Yuanggakurnia.com