Respon Masyarakat Muslim Terhadap Nasionalisme di era Reformasi

Forum Lingkar Studi Agama dan Filsafat (LISAFA) Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran UIN Sunan Kalijaga mengadakan sebuah seminar yang berkaitan dengan muslim dan nasionalisme. Seminar yang mengambil tema “Respon Masyarakat Muslim Terhadap Nasionalisme di Belantara Reformasi” ini diisi oleh dua narasumber yaitu Muh. Iqbal Ahnaf, Ph.D dari CRCS UGM dan Bernando J Sujibto, M.A. Pendiri Turkish Spirits dan juga Peneliti Sastra dan Kebudayaan Turki. Kedua narasumber ini akan menyoroti muslim dan nasionalisme di Indonesia dengan perspektif masing-masing.

Berbicara tentang masyarakat muslim Indonesia dan nasionalisme, belakangan mulai bermunculan sekelompok muslim yang memiliki definisi nasionalisme yang berbeda. Mereka beranggapan bahwa demokrasi di Indonesia telah gagal dan nasionalisme mereka adalah dengan menonjolkan wajah agama tertentu. Bahkan lebih jauh, mereka mendeklarasikan pembentukah bentuk negara baru yang mereka sebut sebagai “Khilaafah” atau “Daaru’l Islaam”. Akhirnya, mereka pun menuntut adanya reformasi dan revolusi dalam mengganti sistem negara dan sendi-sendi pemerintahan Indonesia yang ada.

Padahal perlu dipahami bahwa dua organisasi masyarakat muslim mainstream di Indonesia, NU dan Muhammadiyyah telah menyepakati bahwa bentuk negara ini adalah “Daaru’l ‘Ahd” atau bentuk negara yang berdiri atas nilai-nilai Islam. Karenanya, meskipun negara ini tidak dapat disebut sebagai negara Islam, namun bukan berarti sistem pemerintahan ini adalah “thaaguut” sebagaimana yang digembar-gemborkan kelompok Islam radikal tersebut. Pancasila yang menjadi dasar negara merupakan suatu alat atau tempat di mana suatu bangsa dan negara dapat mengaplikasikan nilai-nilai syari’at Islam dalam bentuk yang lebih luas dan fleksibel.

Indonesia sebagai sebuah nation-state dianggap telah memiliki bentuk nasionalismenya sendiri. Bangsa ini hanya butuh mempersatukan semua nasionalisme antar suku bangsa dalam satu payung bernama “Indonesia”. Inilah mengapa Bernando J Sujibto menyebut bentuk nasionalisme Indonesia bersifat feminism atau keibuan, tidak lain karena sifatnya yang merangkul semua suku bangsa yang berbeda dari Sabang hingga Merauke. Hal berbeda adalah nasionalisme yang sedang dibangun oleh Myanmar. Negara tersebut saat ini tengah membangun nasionalisme mereka sendiri yang berbasis pada etno-nasionalisme yang bersifat eksklusif. Eksklusivitas mereka yang hanya mengakui beberapa suku bangsa sebagai “orang Myanmar” inilah yang membuat etnis Rohingya tidak juga diakui eksistensinya di Myanmar. Adapun nasionalisme Indonesia cenderung sangat terbuka dan tidak terikat pada etnis tertentu. Hal inilah yang membuat keadaan Indonesia masih stabil meski diiringi gejolak-gejolak kecil yang berhubungan dengan SARA.

Nasionalisme memang kadang bersifat kejam. Hal tersebut juga tampak saat Turki mencanangkan gerakan “Turkinisasi”. Gerakan tersebut dimasukkan hingga ke dalam pendidikan, kehidupan bermasyarakat, dan berbahasa. Mereka yang berasal dari Kurdi misalnya, dilarang menggunakan bahasa Kurdi di tempat-tempat publik dan harus menggunakan bahasa Turki. Berbagai ritual keagamaan pun dilarang menggunakan bahasa Arab di zaman Mustafa Kemal dan harus menggunakan bahasa Turki.

Timbulnya kelompok-kelompok yang cenderung radikal dan sempit dalam pemahaman agama menjadi salah satu tantangan nasionalisme di era ini. Tidak sedikit dari mereka yang menganut nalar dan model pemikiran bahwa perlunya satu golongan dari sebuah kaum atau bangsa untuk bertindak keras dan tegas. Mereka memaknai “keras dan tegas” sesuai dengan definisi yang mereka pahami dan tanpa indikator yang jelas. Bahkan yang sering terjadi adalah persepsi tersebut menjadi justifikasi dan pembenaran atas nalar yang mereka bangun.

Kelompok radikalis ini juga menyebarkan asumsi bahwa terorisme adalah sebuah konspirasi dan sesuatu yang tidak nyata. Seringkali aksi terorisme di Indonesia tidak diakui sebagai murni perbuatan anak bangsa, namun lebih kepada konspirasi global terhadap usaha penjatuhan negara ini. Mereka mengkonstruk pikiran dan narasi bahwa seolah-olah selalu ada campur tangan dari pihak asing yang ingin memecah belah negara ini. Pola pikir inilah yang yang diinginkan oleh para teroris tersebut. Mereka di satu sisi memaknai aksi teror sebagai sebuah jihad (glorifikasi teror), namun di sisi lain mereka bersikap mengingkari aksi tersebut dan melemparkannya ke pihak asing.

Menurut Bernando, nasionalisme Indonesia belum terformulasikan secara jelas dan paten. Selain itu, menurut Iqbal, tantangan yang dihadapi Indonesia saat ini bukanlah berupa tantangan militer, namun lebih kepada krisis pemikiran dan nalar yang keliru. Beberapa kelompok radikal yang mengatasnamakan agama mencoba menyempitkan makna nasionalisme bangsa ini. Gerakan mereka dimulai dengan membangun solidaritas atas rasa keterancaman bersama atau yang dalam bahasa Iqbal disebut “Imajinasi Viktimisasi”, yang merupakan bumbu utama dalam gerakan radikalis.

Mereka lalu mengkonstruksikan narasi bahwa hanya dengan peran Islam sajalah Indonesia dapat merdeka. Dengan hal ini pula mereka menuntut pemberian hak preogatif Islam dalam membentuk suatu sistem negara dan pemerintahan yang berbeda dengan Pancasila, UUD 1945, dan NKRI. Pemikiran dan nalar khas gerakan radikal adalah pola pikir totaliter dan polarisasi, di mana mereka hanya mengenal hitam dan putih, baik dan buruk, Islam dan Kafir.

Namun berbagai ideologi di atas tidak serta merta menjadi alasan utama seseorang masuk ke dalam kelompok radikal. Banyak alasan pragmatis lainnya seperti ingin mencari keuntungan, mencari pengaruh, mengikuti ajakan teman, rasa solidaritas, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, dalam usaha deradikalisasi pola pikir seseorang perlu kiranya mengetahui motif apa yang membuatnya bergabung ke dalam gerakan tersebut.

Selama ini mereka yang berpaham radikal selalu mengelu-elukan bentuk negara Islam. Namun sayangnya, hingga kini mereka tidak dapat memberikan contoh negara Islam yang benar-benar ideal dan dapat diterapkan di bumi pertiwi ini. Turki dengan presidennya Erdogan misalnya, seringkali dijadikan sebagai role model pemimpin muslim. Memang nasionalisme Turki terlambang dalam 3 hal, yaitu Allah/Din (agama), Bayrak (bendera), dan Vatan (Tanah Air). Namun sejatinya Turki tidak sepenuhnya negara Islam. Selain faktor bahwa Erdogan adalah muslim dan juga Islamis, dia tidak berangkat dari partai Islam seperti Ikhwanul Muslimin. Gaya kepemimpinan Erdogan juga cenderung otoriter dan tidak memberikan kebebasan pers dan media. Pemerintah mengontrol penuh berbagai berita yang menjadi topik media. Di Turki, ideologi komunis juga berkembang subur dan bebas. Mereka juga menjalin kerjasama dengan Israel dan Rusia, hal yang merupakan pantangan bagi ideologi Ikhwanul Muslimin.

Berbagai fakta di atas semakin mematahkan nalar mereka yang menganggap bahwa negara Islam adalah sebuah keharusan bagi Indonesia. Model pemerintahan yang telah ada hari ini perlu mengalami revolusi. Padahal perlu mereka pahami bahwa “the revolution is the only way when there is no other ways” `revolusi adalah satu-satunya jalan yang ditempuh saat tidak ada lagi jalan yang dapat dilalui’ atau merupakan pilihan terakhir. Revolusi yang mereka dengungkan tidak lain adalah kegagalan dalam menyampaikan aspirasi melalui jalan non-kekerasan. Seorang penggiat perdamaian, Gene Sharp menyebutkan bahwa ada sekitar 198 jalan untuk menyampaikan aspirasi tanpa menggunakan revolusi atau jalan kekerasan. Lantas mengapa mereka yang mengaku berlandaskan agama yang merupakan simbol cinta dan perdamaian justru tidak memiliki banyak cara dalam menyampaikan aspirasinya?

Terakhir, Iqbal mengingatkan bahwa perbicangan di atas tidak menafikan pentingnya peran teks dan memori. Teks dan memori memiliki peran yang sangat sentral dan selalu menjadi acuan. Namun sayangnya, seringkali konteks dan realitas yang ada memaksa dan mempengaruhi sekelompok orang dalam menggunakan teks tersebut. Berbagai memori para founding fathers bangsa ini menunjukkan bahwa Pancasila merupakan bentuk negara yang paling cocok untuk Indonesia.

 

Yogyakarta, 1 Sya’ban 1439/17 April 2018

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top