Artis VA dan Efek Sebuah Kehilangan

Awal 2019 dikejutkan dengan kasus seorang artis yang terjerat kasus prostitusi online. Sebutlah ia sebagai VA, seorang artis yang beberapa kali menghiasi layar kaca televisi. Sebagaimana biasa, kasus tersebut menjadi viral di berbagai jejaring sosial disertai beberapa ‘meme’ yang menyindirnya. Istilah-istilah seperti ’80 juta’ dan ‘menjemput rizki di awal 2019’ menjadi istilah yang banyak beredar belakangan ini.

Saya pribadi juga memang beberapa kali pernah melihat tayangan yang menampilkan wajahnya. Ketika ia terjerat kasus tersebut, jujur saya juga cukup terkejut. Tapi tulisan pendek ini tidak akan membahas kembali kasus tersebut, baik VA berposisi sebagai korban, saksi, maupun tersangka. Saya hanya akan berbicara dia sebagai seorang manusia biasa. Tulisan ini juga bukan merupakan pembelaan atasnya, pembenaran atas perbuatan yang dituduhkan, atau lebih buruk, ikut menghakimi perbuatannya. Hanya sekedar melihat dari sisi lain.

Malam ini saya melihat sedikit tayangan wawancara eksklusif antara Feni Rose dengan VA. Salah satu yang menarik perhatian saya adalah bahwa hubungan VA dengan keluarganya sedang kurang baik. Dari pihak keluarga mengatakan bahwa VA sendiri yang menutup diri dari keluarga dan tidak pernah memberi kabar apa-apa. Begitu tersiar kabar, kabar yang hadir justru menyebutkan VA tersangkut sebuah tindak kejahatan seksual.

Di sisi lain, VA sendiri mengungkapkan bahwa hubungannya dengan keluarganya, terutama sang Ayah memang tidak harmonis. Semenjak ibunya meninggal saat ia berusia 10 tahun, hubungannya dengan sang ayah semakin renggang. Perbedaan pendapat dan salah paham menjadi makanan sehari-hari keduanya. Hak-hak anak yang seharusnya didapat dari seorang ayah tak jua ia dapatkan dari orang tua satu-satunya tersebut. Pendek kata, VA merasakan bahwa ayah tersebut tidak menjalankan perannya sebagai ayah secara baik. Walhasil, ia pun terbiasa menyelesaikan urusannya seorang diri, menghadapi berbagai permasalahannya seorang diri, dan mencukupi kebutuhan dirinya seorang diri juga. Ia pun bertekad meninggalkan rumah sejak umur 17 tahun dan memilih menutup diri dari keluarga secara khusus dan juga keluarga besarnya secara umum.

Saya tidak berkata bahwa yang dilakukan VA adalah sebuah kesalahan atau sebuah hal yang patut dilakukan. Tapi coba kita perhatikan bahwa ada hak-hak yang tidak terpenuhi di sini. VA merasa ia tidak punya tempat untuk mengadu, bercerita, mencurahkan isi hati, pundak yang siap menopang kepalanya saat resah, dan pelukan yang menghangatkannya di dinginnya malam. Ia amat merindukan kehadiran keluarga dan dukungan mereka di saat-saat seperti ini. Namun, alih-alih menghubungi dan menemui keluarganya, VA justru mengurungkan niatnya. Ia beralasan bahwa ia belum siap untuk bertemu mereka. Toh, jikapun mereka bertemu, keluarganya juga tidak akan membantu apa-apa untuk dirinya.

Hal tersebut bukanlah sebuah kesalahan. Berbagai kekecewaan yang telah terjadi di masa lampau mengkonstruk semua pikiran tersebut. VA akan selalu merasa ia tidak perlu melibatkan keluarganya dalam berbagai hal. Meskipun begitu, jauh di lubuk hatinya, ia tetap membutuhkan sosok ibu, ayah, dan keluarga yang utuh, keluarga yang berdiri di depannya saat ia diserang, keluarga yang selalu berada di belakangnya untuk membangunkannya saat terjatuh.

Apakah semua ini hanya fiktif dan settingan belaka? Bukan hak saya menentukannya. Yang saya tahu, kehilangan sesuatu atau seseorang yang dicintai nyatanya sangat berat. Nabi Muhammad SAW saja yang merupakan manusia yang paling sempurna dan kekasih Allah SWT merasakan sedih yang cukup mendalam ketika dalam satu tahun Beliau harus kehilangan pamannya dan juga istrinya, Siti Khadijah. Tahun itupun disebut sebagai ‘Tahun Kesedihan’. Allah SWT memberikan hiburan kepada Nabi dalam bentuk Isra’ Mi’raj untuk menguatkan kembali semangat Beliau.

Berbagai film yang saya koleksi juga banyak berbicara tentang perjuangan seseorang dalam mengobati rasa sakit dari kehilangan. Film ‘The Shack’, ‘Book of Love’, dan ‘Grace Card’ adalah beberapa film yang bercerita tentang sakitnya kehilangan. Banyak dari mereka yang merasakan kehilangan dapat mengekspresikannya dan mengalihkannya ke berbagai hal lain yang lebih bermanfaat. Namun, tidak sedikit pula yang harus memendam rasa sakit tersebut dengan berbagai hal yang negatif. Terlebih ketika keluarga yang tersisa atau kerabat yang ada justru tak mampu menghadirkan kehangatan mereka yang telah tiada. Rasa kehilangan tersebut akan semakin menganga dan mungkin akan terinfeksi dengan berbagai hal-hal yang mampu menenangkannya. Obat-obatan, minum-minuman, dan berbagai aktivitas lain dipilih untuk menghilangkan rasa sakit tersebut.

Beberapa akan bertanya, “Sebesar itukah efek dari sebuah kehilangan?”. Salah satu jawaban yang simpel adalah “Anda tidak akan tahu rasanya kehilangan kecuali anda pernah berada di posisi tersebut”. Bukan jawaban yang memuaskan memang, namun begitulah adanya. Kehilangan dan perpisahan tidak pernah menunggu kesiapan kita, karena sejatinya kita tidak akan pernah siap menghadapi perpisahan dan kehilangan.

Kasus VA mungkin bisa jadi pelajaran bagi kita semua untuk lebih bijak dan tanggap dalam menopang teman yang sedang kehilangan. Mereka memang perlu waktu dan ruang untuk sendiri. Ketika mereka lebih siap untuk menghadapi dunia, kita perlu berdiri di samping mereka. Tidak perlu berikan nasihat bijak apapun atau bahkan penghakiman bagi mereka. Cukup telinga yang setia mendengarkan, pundak yang lebih tegar, pelukan yang hangat, dan secangkir minuman hangat untuk meramaikan suasana hati yang terluka.

 

Ponorogo, Jumadal Ula 18, 1440

 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top