Menjadi Keluarga Sukses “Anak Hebat, Orangtua Hebat”

Seminar parenting ini merupakan salah satu kegiatan dalam rangkaian acara “Open House  SDI al-Azhar 31 Yogyakarta”. Acara diawali dengan penampilan berbagai kesenian dan kegiatan ekstrakurikuler para siswa di SD tersebut sebelum diakhiri dengan sambutan ketua Yayasan Asram Yogyakarta, Drs. H. A. Hafidh Asrom, M.M. Ketua Yayasan tersebut menyebutkan bahwa sekolah ini merupakan salah satu jawaban atas kegelisahan para orang tua dalam menghadapi tantangan globalisasi, khususnya dalam pendidikan yang islamy. Menurut beliau, tantangan globalisasi dalam pendidikan anak saat ini, khususnya di kota Yogya setidaknya terdiri atas 4 ancaman, yaitu Penyalahgunaan narkotika, LGBT, Free Sex dan Bullying.

Dalam acara inti, psikolog Indonesia yang juga menjadi ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kak Seto Mulyadi membahas salah satu aspek dari ancaman tersebut, yaitu bullying. Paparannya dimulai dengan mengajak para orang tua yang hadir untuk menyepakati bahwa semua anak adalah hebat, semua anak adalah cerdas dan tidak ada anak yang nakal. Hal tersebut diperlukan karena dalam praktiknya, tidak sedikit orang tua yang menganggap anaknya nakal, tidak berbakat dan tidak cerdas dalam berbagai hal. Para orang tua seringkali tidak menerima putra-putri mereka apa adanya. Alih-alih mendengarkan aspirasi dan keinginan anak, mereka seringkali memaksakan keinginan dan kehendak mereka. Bila tidak sesuai yang mereka harapkan, para anak tersebut akan mendapatkan bentakan, omelan, hingga kekerasan fisik. Kejadian serupa juga terjadi dalam sistem pendidikan yang berubah wujud menjadi “Lembaga Pendidik Robot” dibandingkan “Lembaga Pendidik Manusia”. Sistem yang mengekang, pelajaran yang membosankan dan guru yang tidak bersahabat membuat anak-anak memiliki stigma bahwa sekolah adalah sebuah penjara bagi mereka.

Menurut Kak Seto, bullying adalah segala bentuk penindasan atau kekerasan yang dilakukan dengan sengaja oleh satu atau sekelompok orang yang lebih kuat atau berkuasa terhadap orang lain, bertujuan untuk menyakiti dan dilakukan secara terus menerus. Pihak orangtua dan para guru juga seringkali secara tidak sadar melakukan tindakan bullying kepada anak didik mereka. Anak yang seharusnya mengagumi kedua orang tuanya dan para gurunya dan menjadikan mereka teladan yang baik justru mematuhi mereka karena takut akan ancaman dan intimidasi. Dampaknya, mereka akan selalu merasa tertindas, gelisah, rendah diri, malas belajar, panik, terkadang agresif, kenakalan remaja hingga bunuh diri. Para orangtua yang diharapkan menjadi garda terdepan dalam perlindungan anak justru malah menyakiti dan melakukan kekerasan baik fisik maupun non-fisik kepada anak. Selain itu, para orangtua juga tidak seharusnya berperan menjadi “komandan” atau “bos” bagi anak mereka, melainkan menjadi sahabat anak. Gerakan inilah yang diusulkan oleh kak Seto kepada Presiden Joko Widodo dalam Hari Pendidikan Nasional tahun 2018, yaitu gerakan SASANA “Saya Sahabat Anak” yang dimulai dari komitmen Presiden dan diikuti oleh semua pihak dari orangtua dan guru, karena pendidikan dan perlindungan anak harus melibatkan orang sekampung.

Pada dasarnya anak senang belajar karena mereka memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Bila tidak, dapat dipastikan ada yang salah dengan lingkungannya. Belajar yang efektif adalah belajar dengan dalam suasana gembira dan menyenangkan. Sistem pendidikan sekolah yang tepat akan mendukung pengembangan pendidikan dan pembentukan karakter anak. Anak-anak membutuhkan berbagai pendidikan agama dan nilai-nilai, keterampilan sosial, olahraga dan kerjasama, seni-budaya, dan kreativitas.  Standar isi yang wajib dimiliki oleh lembaga pendidikan mencakup aspek utama berupa etika, estetika, iptek, nasionalisme, kesehatan dan aspek pendukung lainnya. Standar isi tersebut dapat dibentuk dengan keteladanan yang baik dari para guru dan pendidik dan tidak cukup dengan kata-kata. Karena bagaimanapun, anak adalah peniru yang paling baik dari apa yang mereka lihat dan bukan apa yang mereka dengar.

Sistem pendidikan juga harus lebih menghargai kreatifitas anak. Kecerdasan intelektual anak bukanlah kecerdasan mutlak yang harus dimiliki anak karena spektrum kecerdasan sangat luas sekali. Selain kecerdasan intelektual, ada pula kecerdasan emosional, sosial, kreativitas dan lain sebagainya. Kecerdasan anak mencakup aspek kognitif, afektif dan psikomotoriknya. Howard Gardner menyebutnya sebagai “Multiple Intellegences” yang meliputi cerdas angka, cerdas kata, cerdas gambar, cerdas music, cerdas tubuh, cerdas teman, cerdas diri dan cerdas alam. Kecerdasan intelektual dan akademik merupakan bakat yang sulit diubah, akan tetapi kreatifitas merupakan sesuatu yang dapat dipelajari dan dikembangkan. Bahkan lebih penting bagi orangtua untuk mengedepankan kecerdasan moral dan spiritual dibandingkan kecerdasan intelektual.

Anak-anak zaman sekarang berbeda dengan anak zaman dahulu. Anak-anak zaman sekarang memiliki kelebihan berupa rasa ingin tahu yang lebih tinggi, penguasaan teknologi yang baik dan dapat lebih cepat menyelesaikan masalah. Namun mereka juga dikenal memiliki beberapa sisi negatif seperti kurangnya komunikasi verbal, egosentris, individual dan lebih menyukai segala hal yang instan. Orangtua  dan guru juga harus kreatif dalam menyikapinya dan siap untuk selalu belajar hal-hal baru. Kekerasan yang terjadi pada anak juga tidak jarang melalui media elektronik dan media televisi. Pesatnya perkembangan informasi, komunikasi dan elektronika membuat anak kecanduan dengan gadget dan berbagai konten yang negatif.

Hal itu juga disebabkan berkurangnya peran sekolah dan keluarga sebagai pranata kontrol bagi anak. Yang terjadi, orangtua terlalu sibuk, tidak adanya komunikasi, tuntutan orangtua yang terlalu tinggi bagi anak, kekerasan terhadap anak, tidak tahu potensi anak, ambisi orangtua dan guru dan diskriminasi. Oleh karena itu, dibutuhkan komunikasi yang efektif antara orangtua dan anak. Orangtua harus membiasakan makan bersama, bercerita satu sama lain, mengadakan rapat keluarga dan mendengarkan pengalaman pribadi si anak. Dalam komunikasi, orangtua harus mendengarkan cerita anak dengan aktif, memberikan pesan diri, menggunakan metode anti kalah (orangtua tidak harus selalu benar), mau mengubah lingkungan dan mengubah dirinya sendiri. Pendek kata, menurut Kak Seto, orangtua jangan pernah bermimpi untuk memiliki anak yang penurut, tapi bermimpilah untuk memiliki anak yang pintar bekerja sama dengan sekitarnya termasuk orangtua dan guru.

Dalam mempelajari psikologi anak, ada 5 hal yang menjadi poin penting. Pertama, anak bukanlah orang dewasa mini. Kedua, dunia anak adalaha dunia bermain. Ketiga, anak-anak akan tumbuh dan berkembang. Keempat, anak adalah peniru terbaik. Kelima, anak-anak sangat kreatif. Dalam perkembangan psikologis anak, orangtua dan guru harus memeberikan hak-hak anak, yaitu hak untuk hidup, hak untuk tumbuh dan berkembang, hak perlindungan dan hak partisipasi. Hak partisipasi juga seringkali luput dari perhatian para pendidik karena menilai mereka “belum cukup umur”, padahal semua anak ingin dihargai.

Anak adalah anugrah sekaligus amanah dari Tuhan. Namun sekitar 70% orangtua di Indonesia belum dapat mendidik anak jaman now dan 60% orangtua masih menekankan aspek prestasi akademik pada anak. Mereka lupa bahwa dalam mendidik harus menggunakan cinta, bukan justru menghalalkan kekerasan, bentakan dan omelan. Sebelum menutup paparannya, Kak Seto memberikan kiat hidup sehat, yaitu dengan GEMBIRA yang merupakan singkatan dari Gerak, Emosi cerdas, Makanan sehat, Berdo’a dan Beribadah, Istirahat, Rukun dan Ramah dan Amal sholeh. Rumusan kiat hidup sehat tersebut merupakan pedoman bagi para pendidik dalam mendidik anak mereka dan membangun konsep diri yang positif pada anak.

Terakhir, Kak Seto Mulyadi mengingatkan bahwa semua anak adalah unik, otentik dan tidak terbandingkan. Membanding-bandingkan anak hanyalah suatu bentuk diskriminasi yang berujung negatif bagi perkembangan diri anak. Mereka harus merasa bangga dan percaya diri dengan bakat dan kecerdasan bawaan yang ia punya. Dengan demikian, diharapkan anak-anak siap menjadi generasi penerus bangsa ini dan mewarnai Indonesia dengan berbagai kecerdasan mereka di bidangnya masing-masing.

 

“Biarkan anak kita menjadi apa yang mereka sukai, apakah mereka ingin menjadi Rudi Habibie, Rudi Hartono, Rudi Salam, Rudi Hadisuwarno, atau bahkan menjadi Rudi Khairuddin” (Kak Seto)

 

 

Yogyakarta, 24 R. Akhir 1439/10 Februari 2018

 

 

 

 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top