Adab dalam Ujian

Dua tahun saya berkecimpung di kampus ini, dua kali pula
terlibat langsung dengan masa-masa skripsi. Model pengerjaan tugas akhir di
kampus ini memang cukup ‘khas’. Mengapa saya katakan demikian? Hal ini karena
mereka mengerjakan tugas akhir di samping tugas-tugas lainnya, di samping
mengajar dan membantu pondok. Walhasil, mereka benar-benar bisa fokus untuk
mengerjakannya ketika masa para santri liburan dan setelah tahun ajaran
berakhir, yaitu di kisaran bulan Sya’ban dan Ramadhan.
Pada hari-hari tersebut, para mahasiswa tidak sibuk sendiri.
Banyak elemen lain yang terlibat dalam rangka menyukseskan tugas akhir mereka
hingga dapat menyelesaikan seluruh persyaratan pendaftaran wisuda. Mulai dari
pembimbing, pengoreksi bahasa, bagian layout, sekretaris prodi, sekretaris
fakultas, pengelola jurnal prodi, bagian fotokopi hingga bagian driver
seluruhnya dituntut berperan semaksimal mungkin dalam waktu-waktu ini. Nuansa
kampus yang ‘seharusnya’ dalam masa liburan justru tetap berhasil menghadirkan
hiruk pikuk seperti hari-hari pembelajaran aktif. Mungkin ini menjadi salah
satu perwujudan dari semboyan al-Ma’hadu la yanamu abadan `Pondok ini
tidak pernah tidur`.

Tulisan ini menyoroti satu fenomena yang ‘menarik untuk
dibahas’. Ini adalah tentang pengalaman teman-teman dari bagian-bagian yang
bersangkutan dengan tugas akhir mahasiswa. Selain itu, menurut saya pribadi,
fenomena ini menunjukkan bagaimana tujuan benar-benar dapat menghalalkan
seluruh jalan untuk menggapainya, termasuk jalan-jalan yang tidak perlu
ditempuh. Al-ghayatu tubariru al-wasilah.
Sukses dalam ujian, termasuk di dalamnya ujian melewati
tugas akhir merupakan tujuan utama dari para peserta ujian. Namun, seringkali
kita terjebak pada tujuan tersebut tanpa memperdulikan jalan-jalan yang memang
harus ditempuh. Banyak jalan pintas, bahkan terlarang yang dijadikan
‘alternatif’ dalam menggapai hal tersebut. Karenanya, memperhatikan adab dalam
menggapai tujuan tersebut tidak kalah penting dari meraih kesuksesan tersebut itu
sendiri. Bahkan, proses inilah yang banyak berperan dalam mendewasakan
seseorang.
Salah satu kasus adalah ketika saya menemukan mahasiswa yang
berbuat tidak jujur dalam mengerjakan tugas. Tugas yang saya berikan adalah
menonton video dan menuliskan respon atau refleksi dari video tersebut yang
berhubungan dengan mata kuliah yang telah dipelajari. Tugas yang sedemikian
rupa sering saya terapkan untuk menghindari praktik curang dalam pengerjaannya
sekaligus melatih keterampilan menuangkan ide mereka dalam tulisan. Namun
sangat disayangkan bahwa beberapa mahasiswa justru mengambil artikel-artikel di
internet dan mengumpulkannya sebagai tugas akhir semester. Oleh karenanya, para
mahasiswa tersebut perlu mendapatkan balasan yang setimpal dengan perbuatan mereka.
Kembali ke penulisan skripsi dan tugas akhir mahasiswa.
Banyak mahasiswa yang karena desakan waktu pengerjaan dan deadline penyelesaian
tugas akhir, seringkali lupa (atau bahkan melupakan) posisi mereka sebagai
mahasiswa, mahasiswa yang tetap harus berdisiplin dengan peraturan, mahasiswa
yang tetap harus menghormati mereka yang lebih tua, dan mahasiswa yang tetap
harus menjaga adab dalam bermu’amalah dengan sekitarnya.
Salah satu fenomena adalah mahasiswa bimbingan yang ‘nodong’
pembimbingnya untuk segera menandatangani skripsinya. Beberapa mahasiswa justru
tidak pernah bertemu pembimbingnya di bulan-bulan sebelum bulan tersebut dengan
berbagai alasan. Bahkan, jangankan untuk bertemu, berkonsultasi via telepon
atau WA saja bisa jadi hampir tidak pernah. Ketika waktu menunjukkan satu
minggu sebelum penutupan pendaftaran ujian, mereka baru berbondong-bondong
menuju pembimbing dengan membawa skripsi yang sudah lengkap dan belum dilihat
oleh pembimbingnya sebelumnya. Sang pembimbing yang baru pertama kali melihat
skripsi tersebut tentu membutuhkan waktu untuk membaca dan mengoreksi skripsi
tersebut. Namun, beberapa dari mereka dengan ‘sopan’ mengatakan kepada
pembimbingnya bahwa ‘maaf, besok adalah hari terakhir untuk mendaftar ujian’
atau perkataan lain senada. Hal tersebut sontak terkesan menodong pembimbing
yang juga memiliki tugas dalam mengoreksi dan membimbing tugas akhir yang
mereka tulis.
Kasus lain adalah mereka yang tidak tahan dengan ujian
‘menunggu’, baik menunggu ACC dari pembimbing, menunggu koreksian dari bagian
bahasa, hingga menunggu koreksian dari penguji. Karena berbagai hal tersebut,
mereka dengan ‘berani’ mengirim pesan singkat yang berisi semacam ‘instruksi’
untuk mempercepat proses tersebut. Padahal mereka tahu bahwa seluruh elemen
tersebut tengah bekerja keras dengan waktu yang semakin terbatas dalam
menyelesaikan kewajiban mereka, di samping mereka adalah guru-guru mereka yang
jauh lebih tua. Mereka sudah paham apa yang mereka lakukan. Yang mereka
butuhkan hanyalah sedikit kesabaran ekstra dari para mahasiswa tersebut.
Bila cara tersebut tidak berhasil, tidak jarang mereka
mengirim pesan berisi keluhan tentang pihak-pihak tersebut kepada orang yang
dianggap memiliki power dan kekuasaan untuk memaksa para dosen. Walhasil, para
pembimbing, pengoreksi bahasa, dan penguji dituntut untuk segera
menyelesaikannya sesegera mungkin. Sungguh sebuah kenyataan yang mengecewakan.
Hanya karena ingin menyelesaikan tugas akhir, mereka sampai hati untuk mengadu
domba antar guru mereka dan elemen-elemen terkait. Bila mereka ditanya ‘Mengapa
belum daftar ujian?’ mereka akan serta merta menjawab ‘Masih di pembimbing,
padahal sudah 1 minggu’, ‘masih di lembaga bahasa’, atau bahkan ‘Sudah saya
berikan minggu lalu, tapi belum selesai juga’. Jawaban ini yang membuat sang
penanya segera menghubungi pihak yang bersangkutan dan menagih untuk segera
menyelesaikan tugas tersebut agar si mahasiswa dapat segera mendaftar untuk
ujian.
Pola yang terbentuk di sini jelas, semua elemen dikontrol
oleh kemauan mahasiswa. Padahal seyogyanya, para mahasiswa harus tetap berjalan
pada koridor disiplin dan peraturan yang telah ditetapkan. Bila mereka tidak
menaatinya, tentu ada resiko yang mereka tanggung. Bukan justru melemparkan
kesalahan ke pihak lainnya. Persis seperti pengendara ugal-ugalan yang murka
kepada polisi yang menilang mereka.
Menyelesaikan tugas akhir tentunya perlu strategi. Strategi
inilah proses yang menentukan kesuksesan mereka dalam mencapai kelulusan studi
mereka. Sebagai contoh adalah dua anak bimbingan saya, Anjas dan Alifia. Mereka
berdua sejak jauh-jauh hari sudah saya berikan strategi dan roadmap dalam
penyelesaian skripsi mereka. Mulai dari jadwal bimbingan yang cukup ketat,
koreksi kata per kata, hingga masa koreksi bahasa yang sudah ditentukan. Hal
ini untuk menghindari masa penyelesaian yang mepet dan menyebabkan mereka
‘menghalalkan segala cara’. Walhasil, mereka berdua dapat menyelesaikannya
tepat waktu, memenuhi berbagai persyaratan dan tahapan yang disyaratkan, tanpa
harus menyulitkan pihak-pihak lain.
Strategi itu meliputi banyak hal. Mulai dari ketertiban
mereka dalam bimbingan, konsistensi mereka dalam menulis dan mengerjakannya,
ketertiban bahasa yang digunakan, hingga memasukkan saran dan koreksian yang
digunakan. Bila mereka rajin menulis dan konsisten, mereka akan cepat
menyelesaikannya. Bila mereka rajin datang ke pembimbing, mereka akan banyak
mendapat masukan dari pembimbing. Selain itu, para pembimbing menjadi sangat
kenal dan respect dengan mereka. Bila mereka menggunakan bahasa yang baku dan sesuai
kaidah yang benar, skripsi mereka juga tidak akan mendekam lama di bagian
bahasa. Salah satu faktor yang membuat panjangnya durasi pengoreksian bahasa
adalah banyaknya kesalahan yang ditemukan dan perlu dikoreksi. Begitupula bila
mereka menyelesaikan seluruh persyaratan jauh-jauh hari sebelum deadline tiba.

Meminta tanda tangan adalah hal sederhana. Namun, bila tidak
melalui cara dan waktu yang tepat, ia bisa menimbulkan banyak masalah. Sebagai
contoh, seorang mahasiswa menghubungi saya untuk meminta tanda tangan
pengesahan perbaikan skripsi pasca ujian. Saya mengatakan bahwa pada hari
tersebut saya sedang ada kegiatan di rumah sehingga tidak dapat datang ke
kantor dan saya menjanjikannya esok hari. Ia pun bersikeras untuk datang ke
rumah – yang mana rumah saya cukup jauh dari kampus – dengan alasan bahwa hari
itu adalah hari terakhir untuk menyerahkan skripsi yang sudah disahkan dan ia
sedang dalam perjalanan ke kampus. Sontak saya terkejut mendapatkan jawaban
seperti ini. Saya hanya katakan pada dia bahwa ini adalah salah bentuk
‘menodong’ saya. Secara etika, seharusnya ia menghubungi dosen yang
bersangkutan, menanyakan kesediaan, membuat janji, baru ia melakukan perjalanan
ke kampus untuk bertemu. Bukan dibalik, ia melakukan perjalanan baru ‘memaksa’
dosen untuk menemui dia di hari tersebut.





Terakhir, karena saya kira ini sudah terlalu panjang untuk
dituliskan, adalah mengadu kepada dosen lain yang – mereka anggap – baik kepada
mereka. Mereka bercerita bahwa dosen A selalu saja memberikan banyak koreksian,
dosen B susah ditemui, mata kuliah dari dosen C tidak keluar-keluar, dan lain
sebagainya. Mereka mungkin lupa bahwa tindakan tersebut bukan termasuk tindakan
terpuji. Tiap-tiap mereka memiliki alasan dibalik sikap-sikap tersebut dan
memiliki kesibukan yang berbeda. Tidak semua dosen harus killer dan tidak
semuanya juga harus menjadi baik dalam waktu yang bersamaan. Terlebih bila
mereka yang dicurhati tidak tahu hal-hal penting yang tidak diceritakan dalam
proses ‘pengaduan’ mereka, seperti kisah tugas mahasiswa yang di atas tadi.

Dalam kasus-kasus di atas, banyak mahasiswa yang ‘nekat’ mengesampingkan
adab mereka terhadap dosen dan mereka yang lebih tua. Hal ini semata-mata
dilakukan untuk mencapai tujuan mereka, wisuda. Saya jadi teringat salah satu
nasehat guru saya, Ust. Khasib. Beliau menceritakan bahwa guru dalam mengajar
harus memiliki dua persiapan, yaitu persiapan mengajar sesuai materi dan metode
yang tepat dan persiapan mengajar dengan do’a dan kondisi spiritual yang prima.
Hal ini disimpulkan dari kisah Dzulqarnain yang mengikuti proses dalam segala
sesuatu (فأتبع
سببا
) dan kisah Nabi Khidir as yang mendapatkannya secara langsung (من لدنا علما).

Dua hal tersebut juga berlaku dalam menuntut ilmu dan belajar.
Banyak pelajaran yang dapat diambil dari proses yang sudah berlaku. Namun,
tidak sedikit pelajaran yang datang tidak dari proses belajar formil, bisa
melewati alam dan sekitarnya, atau bahkan tidak tahu dari mana datangnya. Proses
pertama tentu saja dengan belajar di dalam kelas, membaca buku, berdiskusi,
bertanya kepada guru dan lain sebagainya. Adapun proses kedua banyak berasal
dari adab kita kepada Allah dan seluruh makhluk-Nya, termasuk diri sendiri dan
guru. Dalam bahasa beliau, ada ozon keberkahan yang menaungi para murid yang
senantiasa menjaga adab terhadap gurunya selama menuntut ilmu. Ozon-ozon
keberkahan inilah yang dapat menuntun seseorang dalam memperoleh ilmu yang
bermanfaat dan juga memanfaatkan ilmu yang telah ia peroleh.
Titel dan ijazah bukanlah jaminan bahwa ilmu dan akhlaknya
menjadi baik. Mengutip dari pidato bapak Kyai saat khataman kelas VI KMI “Masyarakat
akan menilai, yang dinilai terutama bukanlah ijazahmu, titelmu, pangkatmu, atau
kedudukanmu, tetapi BUDI PEKERTIMU, AKHALQMU, KARAKTERMU, QALBUN SALIM-MU,
bukan QALBUN FASIDUN YANG MERATA DI HATI YANG TIDAK TAHAN, TIDAK TABAH”. Hal senada
diungkapkan oleh Prof. Dr. Imam Suprayogo dalam suatu seminar bahwa mengatur
anak SMP lebih sulit daripada mengatur anak SD, mengatur anak SMA lebih sulit
dari mengatur anak SMP. Bahkan, mengatur mahasiswa jauh lebih sulit daripada
mengatur seluruh anak sekolah tersebut. Mengapa semakin tinggi derajat sekolah
seseorang justru malah semakin sulit untuk diatur? Semakin tinggi tingkat
pendidikan seseorang tidak lantas berbanding lurus dengan kejujurannya.
Seringkali anak SD jauh lebih jujur dibandingkan mereka yang telah lulus S3. Lantas
apa yang ia dapatkan selama masa pendidikannya? Siapakah yang salah dalam hal
ini, pendidiknya, peserta didiknya, atau pendidikannya?
Dengan berbagai kisah di atas, ada satu aspek yang hilang,
yaitu aspek keberkahan. Ada guru yang tersakiti hatinya, ada guru yang menguap
keridhaannya, dan ada murid yang kehilangan adab dalam menuntut ilmu. Padahal,
mereka dengan jelas paham bahwa ilmu yang mereka pelajari tidak lain untuk
memperbaiki akhlaq mereka sebagaimana disebutkan di dalam buku at-Tarbiyah wa
at-Ta’lim. Wisuda mereka yang menjadi penanda tamat belajar di jenjang
perguruan tinggi tak ubahnya menjadi peringatan seremonial belaka, hampa tanpa
makna. Na’udzubillah min dzalik.
Karenanya kita harus selalu menjaga adab kita dalam menuntut
ilmu untuk menjaga ozon keberkahan meliputi diri kita dan sekitar kita. Tak lupa,
kita harus selalu memperbaiki diri dan konsisten dalam mengamalkan ilmu yang
telah kita peroleh, yang dalam nasehat Kyai Hasan ‘Bila kamu sudah S2, maka
ibadahmu dan akhlakmu juga harus setingkat S2, jangan justru kalah dengan anak SD’. 
Skripsi memang penting, namun kesabaran dan kekuatan kita dalam menghadapi prosesnya lah yang menjadikannya indah dan berkah.
Ponorogo, 19 Ramadhan 1441

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top