Kasus IM, Setia Kawan, dan Kebenaran

Belakangan
ini jagad dunia maya cukup disibukkan dengan banyak hal. Mulai dari Corona,
Prank sembako sampah oleh salah satu YouTuber, dan kasus IM. Kasus IM mulai
mencuat sekitar seminggu ini terkait kekerasan seksual (sexual harassment)
terhadap mahasiswi-mahasiswi di salah satu kampus swasta di Yogyakarta.
Kebetulan (atau sialnya) IM merupakan rekan satu almamater saya sehingga
hari-hari ini beberapa grup sosial media almamater cukup ramai.

Mayoritas
teman-teman kami merasa syok, kaget, dan tidak percaya dengan kabar yang
menerpa IM, mengingat sosoknya yang cukup dikenal oleh teman-teman di
alamamter. Secara personal, saya juga mengakui banyak sekali prestasi yang
ditorehkan oleh IM di bidang akademik dan bidang lainnya. Karenanya, ia sering
mendapatkan undangan untuk mengisi seminar tentang motivasi, pembelajaran
bahasa, dakwah, dan event-event bergengsi lainnya. Selain itu, ia dikenal juga
sebagai orang yang alim, agamis, dan berakhlak baik. Oleh karenanya, wajar saja
bila banyak pihak yang terkejut dengan pemberitaan tersebut.

Saat
berita tersebut pertama kali beredar, beberapa kawan serta merta mengatakan
bahwa hal tersebut adalah fitnah yang keji terhadap sahabatnya. Beberapa teman
juga mengkonfirmasi lewat DM kepada saya untuk memastikan bahwa hal tersebut
adalah tidak benar dan hanya sekedar isu belaka. Saya yang memang tidak tahu
menahu dengan hal tersebut hanya menjawab ‘Tidak tahu, kita tunggu saja
perkembangan beritanya’.

Setelah
kabar yang beredar sekitar selepas sholat tarawih tersebut beredar, nyatanya
dari pihak yang bersangkutan sudah memberikan klarifikasi terkait hal tersebut.
Beberapa teman langsung membagikan klarifikasi tersebut di akun media sosial
mereka sekaligus memperkuat asumsi bahwa IM tidak bersalah. Saya masih bisa
mengambil kesimpulan. Meski saya memiliki ikatan pribadi dengan yang
bersangkutan, namun semenjak hari tersebut saya mengikuti perkembangan kasusnya
dari berbagai berita online dan juga akun media sosial para pendamping korban.

Hingga
hari ini, dilaporkan sudah ada 30 orang yang telah melaporkan diri pernah
menjadi korban dari tindakan IM. Baik berupa chat langsung, chat di media
sosial, obrolan di telepon, maupun panggilan video. Beberapa pengakuan korban
yang dipost semakin memperkuat bukti bahwa tindakan tersebut benar-benar
terjadi. Terlebih, pada 2 Mei 2020, pihak kampus yang bersangkutan juga
memberikan rilis terkait dugaan tindak pelecehan dan kekerasan seksual oleh IM.
Berbagai opini dan fakta di lapangan menguatkan dakwaan kepada IM semakin
mendekati kebenaran.

Sore
ini, 4 Mei 2020, pukul 15:00, LBH Yogyakarta juga mengadakan konferensi pers
via daring tentang kasus tersebut. Ini merupakan sebuah langkah kongkrit yang
berani dari lembaga tersebut. Setelah saya mendengarkan banyak hal di dalamnya,
saya semakin paham apa yang menjadi permasalahan, apa yang menjadi penghalang
kasus ini untuk menempuh jalur hukum, dan apa respon kawan-kawan IM di chat
grup YouTube perihal kasus ini.
Permasalahan
yang terjadi di kasus ini adalah sebagai yang saya tulis di paragraf awal
tulisan ini, bagaimana stigma dan persepsi positif IM yang menjadi satu tembok
kokoh bagi orang-orang sekitar untuk percaya pada hal tersebut. Ia dikenal
sebagai mahasiswa berprestasi dan baik luar dalam, sehingga hampir mustahil
untuk melakukan tindakan amoral tersebut. Bahkan, salah satu fansnya berkata
pada saya (beberapa tahun yang lalu) bahwa IM adalah orang yang sangat alim dan
sholeh. Alasannya, hanya karena ia masih mengenakan sarung di jam 7 pagi. Persepsi
yang dibangun para fansnya adalah ia seseorang yang sholeh, hingga jam 7 masih
mengenakan sarung sebagai penanda ia baru saja atau akan melakukan sholah Dhuha
atau sholat Syuruq. Hal inilah yang membuat tugas LBH tersebut perlu merapatkan
kaki dan menguatkan diri dalam menerpa penolakan dari berbagai pihak.

Selain
itu, banyak kawan berkata mengapa tidak dibawa saja langsung ke jalur hukum dan
mengapa kejadian lampau tersebut baru dilaporkan hari ini, apakah menunggu
momen yang pas? Kalau menurut saya pribadi, hari ini bukanlah momentum yang
tepat untuk menjatuhkan seorang IM, mengingat ia tidak sedang terlibat dalam
kontestasi politik dan sebagainya sehingga pertanyaan tersebut mungkin cukup
lemah dan tidak perlu dijawab.

Selanjutnya
adalah sebagaimana sering digembar-gemborkan bahwa hukum di Indonesia cukup
sulit untuk memproses kasus kekerasan seksual seperti yang didakwakan pada IM
atau pada Reynhard Sinaga. Hal ini karena bangunan hukum dan budaya Indonesia
yang kurang berpihak pada korban kekerasan seksual. Perbuatan ini masih
dianggap wajar dan lumrah sebagaimana kita bisa melihat banyak
komentar-komentar bernada seksis dan vulgar di video YouTube, Instagram,
Twitter, Facebook, bahkan di tongkrongan warung kopi. Mulai dari menggoda
wanita yang lewat hingga membicarakan hal-hal vulgar tentang tubuh wanita.

Hal
inilah yang membuat banyak korban tidak serta merta melaporkannya. Mereka
merasa ini bukanlah tindakan kriminal yang pelakunya dapat dipidanakan,
melainkan hanya masalah etika kesopanan saja. Sikap masyarakat dan aparat
berwajib yang ditunjukkan terhadap kasus tersebut juga tidak cukup responsive
bila dibandingkan kasus pencurian dan lain sebagainya. Hal lain yang membuat
mereka memendamnya, bahkan dari teman-teman terdekatnya adalah budaya yang
cenderung berpihak pada pelaku dan merugikan korban dalam kasus serupa. Mereka
akan kepo tentang siapa korban, mengapa ia yang menjadi korban, secantik
apakah ia, mengapa ia tidak segera melapor, dan pertanyaan lainnya yang justru
membuat para korban harus membuka identitasnya dan banyak menceritakan hal
memalukan sekaligus memilukan tersebut. Di sisi lain, sang pelaku tetap
berkeliaran dengan bebas tanpa hukuman pidana maupun beban psikologis.

Oh
ya, terkait klarifikasi IM tersebut, saya – sampai saat ini – merasa berbagai
tuduhan dan komentar terkait tulisan tersebut beralasan. Mulai dari isi
klarifikasi yang tidak memberikan klarifikasi, gaya tulisannya yang dianalisis
oleh grafolog, bagaimana isi post dan story tersebut saat diupload dilihat dari
sisi semiotis, dan hal-hal lain. Setidaknya, ini semua membuktikan sesuatu,
hanya ada satu pihak yang salah dan mencoba bertahan dalam kasus ini.

Saya
pribadi  hanya bisa menunggu perkembangan
arah kasus ini. Dari segi almamater, mereka telah mengadakan sebuah usaha untuk
membantu IM, namun IM telah menunjuk kuasa hukumnya sendiri yang akan
menyelesaikannya. Dalam hati saya juga masih seperti teman-teman almamater yang
percaya serratus persen bahwa IM tidak bersalah. Namun, sudah hampir 10 tahun
ini saya tidak pernah berinteraksi secara personal dengan IM. Seingat saya,
saya penah bertemu dia dua kali, pada 2018 dan 2019 ketika IM mengisi sebuah
acara dan saya menghadiri wisuda di kampusnya. Padahal, dalam 10 tahun, apa
saja bisa terjadi. Manusia bisa berubah dalam waktu singkat dan 10 tahun waktu
yang lama untuk membentuk karakter dan warna pada seorang IM.

Seperti
yang saya katakan ke istri saya, sesungguhnya saya ingin mendukung IM. Namun,
karena kami tidak memiliki bukti dan fakta yang mengarah kepada ketidakbenaran
ini, kami lebih memilih diam dan mengikuti perkembangannya. Bukan lari dan
tidak setia kawan, namun ini adalah bentuk support kami bila memang ia pernah
bersalah dan berbuat hal yang demikian. Adapun kawan-kawan lainnya, masih
sangat banyak yang mensupport IM dengan alasan setia kawan dan mereka telah
mengerti IM luar dalam. Banyak pula yang masih silau dengan prestasinya yang
mentereng sehingga menepikan fakta-fakta yang mengarah pada kasus ini. Mungkin
inilah yang sering disebut bahwa setia kawan adalah menemani kawan di masa
senang dan sulit, di masa suka maupun 
duka. Namun, setia kawan tidak pernah berarti kita menutupi kesalahan
teman kita dan selalu menganggapnya tidak bersalah. Kebenaran memiliki pakemnya
sendiri dan kadang berseberangan dengan nilai solidaritas dan setia kawan. Justru,
bila kita menyayangi kawan kita, kita tidak akan pernah rela melihat mereka
tenggelam di kubangan dosa dan kesalahan.

Seperti
dulu saya tulis di artikel jurnal berjudul ‘Posisi Muslim pada Pilpres 2019’,
kadang kita terjebak pada rasa solidaritas yang tinggi sehingga menafikan
kebenaran dan menerima kesalahan. Dalam bahasa lain, ini seperti ‘ain ridha dan
‘ain sukhti, keduanya tidak benar-benar obyektif. Keduanya merupakan
ekspresi atas persepsi yang telah dibangun sebelum, baik persepsi baik maupun
persepsi buruk. Celakanya, seringkali kita masih tidak bisa dan tidak siap
menerima kenyataan yang bertolak belakang dengan persepsi yang sudah kita
bangun.

Kasus
ini masih berlanjut dan hujatan kepada IM masih mengalir di dunia maya. Saya
pribadi merasa kasihan, prihatin,dan ingin membantunya. Sebagaimana di film ‘Wonder’,
saya percaya bahwa selalu ada dua sisi dalam satu kisah, sisi pelaku dan sisi
korban. Namun, lagi-lagi saya belum memiliki bukti dan fakta serta argumen dari
IM yang menguatkan klarifikasinya. Semoga kita bisa mengambil pelajaran dari
kasus ini dan mulai lebih bijak dan membuka mata tentang kekerasan seksual di
sekitar kita. Semoga dengan mengharap berkah di bulan suci ini, semoga masalah
ini cepat selesai dan keadilan dapat ditegakkan.

Wallahu
al-Musta’an wa al-Muwaffaq ila aqwami ath-Thariq
.
Ponorogo,
11 Ramadhan 1441.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top