Pelita Tersebut bernama “Tafsir Al-Qur’an di Medsos”

Ketika
pertama kali mengikuti akun IG Prof. Dr. KH. Nadirsyah Hosen (atau biasa
dipanggil Gus Nadir) saya cukup terkesima dengan gaya beliau  yang nyentrik (dengan rambut gondrongnya),
santai, namun seringkali diiringi caption dan quotes yang
berbobot. Sesekali, beliau juga memposting karya-karya beliau, mulai dari
artikel hingga buku yang membuktikan bahwa beliau juga seseorang yang produktif
dalam menulis.

Salah
satu buku yang ingin sekali saya baca adalah “Tafsir al-Qur’an di Medsos”. Hal
ini dikarenakan beliau pernah beberapa kali memposting kutipan dari buku
tersebut. Kutipan-kutipan tersebut nyatanya sangat cocok dengan gaya berpikir
saya dan beberapa literasi yang pernah saya baca. Selain itu, pertama kali saya
mengenal nama beliau adalah ketika di mata kuliah ‘Dialog Antar Agama’. Dr.
Muhammad Iqbal Ahnaf selaku pengampu mata kuliah tersebut menunjukkan post Gus
Nadir di Facebook berkaitan dengan isu penistaan agama yang melibatkan
tafsir Surah al-Maidah ayat 51. Salah satu isu yang menjadi bahasan di dalam
buku tersebut.

Di
dalam post tersebut, beliau menjelaskan secara gamblang apa yang
dimaksud awliya dalam ayat tersebut. Benarkah ayat ini menjadi landasan
penolakan terhadap pemimpin non-muslim (yang memang menjadi momentum terjadinya
isu penistaan agama tersebut)? Berbagai argumen yang beliau paparkan dan
berasal dari berbagai tafsir al-Qur’an karangan para ulama terdahulu memberikan
fakta yang menarik dan menjadi ilmu baru bagi kami semua. Semoga ilmu-ilmu yang
beliau berdua ajarkan waktu itu menjadi amal sholih bagi mereka dan menjadi
berkah bagi kami, aamiin. Hafadzahumallah fi ‘Afiyatin.

Singkat
cerita, akhirnya saya dapat memiliki buku tersebut ketika berkeliling di sebuah
pameran buku di Kota Reyog. Ketika mulai membaca komentar dari Buya Quraish
Shihab dan Bapak Nukman Luthfie (alm) di halaman pertama, saya sudah mulai
membayangkan isinya yang luar biasa, namun dengan bahasa ‘khas’ media sosial.
Kata pengantar dari penulis menjelaskan urgensi perlunya ada semacam tafsir
al-Qur’an di media sosial. Hal ini dikarenakan dekatnya media sosial dengan
kehidupan manusia hari ini. Setiap harinya, bahkan di tiap waktu senggang,
manusia sekarang disibukkan dengan berselancara di dunia maya, khususnya di
Medsos. Setidaknya, 130 juta penduduk Indonesia atau 49% dari total keseluruhan
merupakan pengguna media sosial (inet detik, 12/3/18). Karenanya, ia menjadi
salah satu ‘asupan informasi utama’ bagi pengguna medsos.



Peluang
ini nyatanya dimanfaatkan oleh beberapa pihak yang tidak bertanggungjawab untuk
menggelontorkan wacana-wacana dan narasi-narasi yang mengarah pada
eksklusivisme, radikalisme, bahkan ekstrimisme yang melegalkan kekerasan
(Yahya, Fajari,
& Farhah, 2019)
. Dari berbagai kasus kekerasan
atas nama agama di era internet ini, tidak jarang para pelakunya mengaku
mendapatkan pengaruh dari narasi yang ia tangkap di media sosial dan kemudian
ia bergabung dengan grup Facebook atau WhatsApp serta follow
berbagai konten-konten ‘seide’ di Instagram, Facebook, Twitter,
dan YouTube. Tak ayal, semua media tersebut memberikan konten serupa
sehingga berbentuk pembenaran atas apa yang ia yakini, yang notabene, mengarah
pada hal-hal di atas.

Pada
2017, saya pernah menulis sebuah artikel, yang merupakan artikel pertama saya
di jurnal
(Yahya,
2017)
. Artikel tersebut memang berangkat dari kegelisahan
saya tentang penafsiran serampangan sebagian orang tentang berbagai ayat.
Bahkan, di artikel tersebut saya menjelaskan secara gamblang bahwa salah satu
sumber kekerasan komunal (atau individual) atas nama agama seringkali terjadi
karena adanya politisasi ayat oleh para penafsir agama. Dalam bahasa guru saya,
Dr. Mohammad Muslih, yang meminjam istilah Khalid Abou el-Fadhl adalah
‘berbicara sebagai corong Tuhan, bahkan seringkali bertindak seolah merekalah
Tuhan itu sendiri’. Namun, saya akui bahwa argumen saya di artikel tersebut
masih sangat lemah karena saya kekurangan penguasaan literatur tentang kekerasan
atas nama agama dan politisasi penafsiran ayat. Nah, buku Gus Nadir ini
memberikan saya banyak pencerahan terkait kegelisahan tersebut. Minimal, saya
tahu bahwa banyak orang hebat di luar sana yang memiliki kegelisahan seperti
yang saya rasakan dan mereka berpondasikan argumen yang kuat.



Buku
ini berisi 5 bagian. Bagian Pertama berjudul Rahasia Menghayati Kitab Suci
al-Qur’an
. Bagian Kedua berjudul Tafsir Ayat-Ayat Politik. Bagian
Ketiga berjudul Menebar Benih Damai Bersama al-Qur’an. Bagian Keempat
berjudul Al-Qur’an Bergelimang Makna. Bagian Terakhir berjudul Benderang
Dalam Cahaya al-Qur’an
. Masing-masing bagian berisi beberapa tulisan pendek
tentang Tafsir al-Qur’an. Memang ini bukan buku tafsir yang menjelaskan tafsir
al-Qur’an sebanyak 30 jus, namun beliau menafsirkan beberapa ayat-ayat tertentu
yang terkumpul sesuai bagian-bagian di atas.

Secara
keseluruhan, isi buku ini sangat menarik. Membaca buku ini sudah seperti
menonton Drama Korea. Begitu kita mulai dari Episode 1, maka kita akan
ketagihan dan mengatakan ‘Ah, satu episode lagi gak apa-apa kali, nanggung
nih
’. Seperti itu pula ketika kita mulai membaca kata pengantarnya, kita
akan ketagihan untuk membaca bagian-bagian selanjutnya. Ketika di sela-sela
menunggu Kakak Ipar yang akan melahirkan di Rumah Sakit pun, saya menyempatkan
diri untuk membaca buku ini. Ketika ingin menyudahi waktu membaca, saya
seringkali berkata ‘Ah, satu bab lagi gak apa-apa kali, pendek juga kan ya’.

Tapi,
bagian yang paling saya sukai dan ketika membacanya saya ulang beberapa kali
adalah bagian kedua dan bagian ketiga. Yang mana memang bagian itu yang awalnya
membuat saya jatuh hati dengan buku ini seperti saya sebutkan di atas. Kedua
bagian ini benar-benar seolah menampar mereka yang ‘hobi’ menafsirkan ayat-ayat
al-Qur’an sesuai dengan syahwat politik mereka dan gairah interest pribadi atau
golongan. Mereka yang merasa sudah lancar berbahasa Arab dan mengetahui satu
dua arti dari kata-kata dalam satu ayat atau hanya bermodalkan al-Qur’an
terjemahan sudah berani menafsirkan ayat ini dan itu sesuai pemahaman mereka.
Hal lain yang tak kalah menyedihkan adalah ketika mereka justru
menjelek-jelekkan para ulama dan mufassir yang masyhur dengan ilmunya hanya
karena tidak sependapat dengan mereka yang ‘baru kemarin sore’ belajar bahasa
Arab, Nahwu, dan Sharf. Kesedihan bertambah ketika mereka mulai
melakukan ‘ritual’ mereka yaitu othak athik gathuk alias cocokologi.



Salah
satu poin penting yang saya ambil di buku ini adalah tentang kemampuan berbahasa
Arab hanyalah salah satu dari sekian banyak kemampuan yang harus dimiliki
seseorang untuk menafsirkan al-Qur’an. Al-Qur’an adalah kalam Ilahy yang
darinya memancar berbagai keindahan Sang Pencipta. Untuk dapat menemukan
berbagai keindahan ini, tidak cukup dengan modal bahasa Arab saja. Bahasa Arab
dengan Nahwunya (sintaksis), Sharfnya (morfologis), dan Balaghahnya
(stilistika) saja harus dibarengi dengan ‘Ul
ūm
al-Qur’an, Asb
āb an-Nuzūl,
Ush
ūl at- Tafsīr,
Ush
ūl al-Fiqh, Fiqh Sīrah, kajian sastra dan budaya Arab
ketika itu, dan berbagai disiplin ilmu lainnya. Inilah salah satu bentuk I’jaz
al-Qur’an. Karenanya, jangan mudah-mudah untuk menafsirkan dan mengambil hukum
dari suatu ayat tanpa diikuti berbagai piranti lunak pendukungnya.

Akhirnya,
di ulasan yang sangat singkat ini, saya merasa sangat bersyukur bisa diberi
kesempatan untuk mengetahui ada seorang
ālim bernama Gus Nadir dan mampu
membaca buku karya beliau. Semoga berbagai isi di dalamnya dapat mencerahkan
banyak hati yang gelap, mengarahkan banyak jiwa yang tersesat, dan meyakinkan
banyak kepala yang bingung sebagaimana judul tulisan ini. Dunia maya adalah
belantara baru yang penuh dengan banyak jalan dan hanya diterangi sedikit
pelita. Hadirnya Gus Nadir di jagad maya adalah salah satu pelita dalam mencari
jalan mana yang benar dan harus ditempuh.  Semuanya, tentu atas seijin Dia Yang Maha
Mengetahui dan Sang Pemilik Seluruh Ilmu. Ihdina al-Shir
āth
al-Mustaq
īm. Semoga kami bisa mengikuti
jejak panjenengan, minimal dapat ikut berkontribusi dalam menyebarkan wacana
dan narasi yang penuh dengan nilai-nilai kedamaian Islam.

Wallāhu
al-Musta’
ān.
Kediri,
1 Sya’ban 1440.
Salam
Hangat,
Murid
onlinemu
Daftar
Pustaka
Yahya, Y. K. (2017). Fenomena
Kekerasan Bermotif Agama di Indonesia. Kalimah, 15(2), 205–218.
https://doi.org/10.21111/klm.v15i2.1494
Yahya, Y. K., Fajari, I. A.,
& Farhah, F. (2019). Exclusivism in Cyberspace: Challenges in Interfaith
Communication. Third International Conference on Sustainable Innovation 2019
– Humanity, Education and Social Sciences (IcoSIHESS 2019) Exclusivism
, 3(Atlantis
Press), 468–471. https://doi.org/10.2991/icosihess-19.2019.81

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top