Ujian Untuk Semua

Beberapa waktu lalu saya memberikan tugas kepada para
mahasiswa dalam mata kuliah ‘Bahasa Indonesia’ untuk menulis essai pendek atau
refleksi tentang ujian. Tulisan pendek ini adalah salah satu refleksi pribadi
yang mendasari adanya ide memberikan tugas tersebut.
Ujian yang dimaksud dalam tulisan ini adalah ujian dalam
arti sempit, yaitu sebuah proses evaluasi dan penilaian di akhir pembelajaran,
biasanya di tiap akhir semester. Ini bukan tulisan mendalam tentang ap aitu
ujian kehidupan atau bagaimana sikap kita dalam menjalani ujian. Tulisan ini
adalah refleksi seseorang yang pernah menjadi penguji dan pembuat soal ujian.
Di sekolah saya, ujian terdiri dari dua bentuk ujian, yaitu
ujian lisan dan ujian tulis. Ujian lisan berbentuk interview siswa yang diuji
oleh beberapa penguji (4-5 orang sesuai tingkatan kelasnya) sesuai dengan
rumpun mata pelajaran tertentu, yaitu bahasa Arab, bahasa Inggris, dan
al-Qur’an. Adapun ujian tulis adalah ujian sebagaimana biasa dilakukan di
sekolah-sekolah lain, yaitu ujian komprehensif untuk seluruh mata pelajaran
yang telah diajarkan selama satu semester.

Sistematika ujian tersebut tidak jauh berbeda dengan ujian
di tingkat perguruan tinggi. Ada pengajar yang mengadakan ujian lisan, ujian
tulis, tugas terstruktur, atau kombinasi dari ketiganya. Perbedaannya hanya
saja terletak pada waktu pelaksanaan ujian. Di tingkat ini, pelaksanaan ujian
lebih fleksibel dan dapat dilakukan pada waktu yang telah disepakati oleh
pengajar dan para siswanya.
Salah satu semboyan dalam ujian di sekolah saya adalah
“Seluruh elemen di sekolah ini menghadapi ujian. Tidak hanya siswa yang diuji,
melainkan para guru, para penguji, panitia, bahkan Direktur pun seluruhnya
diuji”. Semboyan ini selalu didengungkan setiap masa ujian. Saya sendiri tidak
begitu memahaminya ketika masih menjadi siswa ‘diuji’. Ketika saya telah
memasuki fase penguji, saya baru ‘sedikit’ memahami apa yang dimaksud oleh
semboyan tersebut.

Dalam ujian lisan, misalnya, saya memiliki sebuah kenangan
yang bisa menjadi contoh. Ketika itu saya masih duduk di bangku kelas 1 KMI
(setingkat 1 SMP). Ketika memasuki ujian lisan Bahasa Arab, saya yang kala itu
tengah menderita demam dan tetap memaksakan masuk ujian, cukup merasa kecewa.
Ketika saya masuk ruang ujian, yang mana saya masuk di urutan terakhir, saya
mendapati para penguji dalam keadaan mengantuk dan tidak lagi berkonsentrasi
pada ujian. Mereka hanya menanyakan beberapa hal yang terlintas di pikiran
mereka. Hal ini terlihat dari bagaimana mereka mencoba mengingat-ingat kembali
soal yang akan diberikan. Padahal, setiap penguji telah memiliki buku persiapan
ujian yang ia tulis sendiri dan sudah dikoreksi oleh guru yang lebih senior.
Salah satu ujian bagi penguji adalah attitudenya ketika
memberikan soal. Selain itu, pertanyaan yang diberikan kadangkala juga
berbentuk ‘cukup’ abstrak dan sulit untuk dijawab. Sebagai contoh, saya pernah
sedikit berdebat dengan penguji hanya karena ia meminta saya untuk melakukan
tayammum sebagai pengganti mandi. Saya pun melakukan tayammum sebagaimana biasa.
Sang penguji merasa tidak sesuai dan meminta alasan saya melakukan hal
tersebut. Seluruh penguji terdiam saat saya menunjukkan buku yang menjelaskan
bahwa dalam bab tersebut, tidak ada perbedaan antara tata cara tayammum untuk
pengganti wudhu dan mandi.
Hal tersebut lagi-lagi menunjukkan kurangnya kompetensi
penguji di saat memberikan pertanyaan. Sejatinya, sebagaimana saya sebutkan di
atas, bahwa seluruh  penguji diwajibkan
membuat buku persiapan yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang akan diujikan. Setelah
ditulis oleh penguji, buku berisikan lebih kurang 10 halaman tersebut dikoreksi
oleh guru senior secara detail, halaman demi halaman, kalimat demi kalimat.
Pertanyaan-pertanyaan yang disusun pun sudah dibuat berjenjang, yaitu mulai
dari mudah, sedang, hingga sulit.
Namun, seringkali di tengah-tengah ujian, para penguji
melakukan improvisasi dalam memberikan pertanyaan. Pertanyaan yang tidak
tertulis diberikan secara acak kepada siswa yang diuji. Bila beruntung,
pertanyaan tersebut memang berasal dari materi pelajaran yang sama. Bila tidak,
ia bisa berupa pertanyaan acak yang dilontarkan oleh penguji dan tidak berbasis
mata pelajaran tersebut.
Porsi pertanyaan yang diberikan juga kadang kurang
proporsional. Memang dalam satu ujian, ada siswa yang memang memiliki kemampuan
di atas rata-rata dan mampu menjawab seluruh soal dengan cepat dan tepat.
Namun, mayoritas peserta ujian adalah mereka yang rata-rata, yang terkadang
membutuhkan waktu untuk mencari jawabannya, untuk mengingat kembali
pelajarannya, dan menyusun kata-kata. Keadaan tersebut dapat diperparah bila mereka
merasa gugup dan grogi sehingga sulit mengingat apa yang sebelumnya mereka
hafal.
Kebijakan penguji dibutuhkan dalam masa tersebut. Para
penguji ‘seharusnya’ memberikan waktu bagi mereka untuk berpikir. Namun,
seringkali beberapa penguji merasa tidak sabar dan segera menekan mereka segera
menjawab. Walhasil, para siswa memilih jalan aman, yaitu menggelengkan kepala
atau menjawab ‘saya lupa’ sembari tersenyum kecut.
Mengapa beberapa penguji melakukan tersebut? Beberapa alasan
yang saya temukan adalah pertama, karena mereka ingin cepat selesai dan
melanjutkan ke siswa berikutnya secara cepat sehingga dapat keluar ruang ujian
dengan cepat. Kedua, hal tersebut dikarenakan beberapa penguji telah memiliki
prasangka sebelum para siswa tersebut masuk ruang ujian. Bila ia memang
memiliki kemampuan di atas rata-rata (dilihat dari abjad kelasnya), soal yang
banyak dan sulit telah dipersiapkan. Sebaliknya, bila ia memiliki kemampuan
rata-rata atau justru di bawahnya, maka soalnya yang dipersiapkan hanya sedikit
dan terkadang juga cukup sulit.
Alasan kedua tersebut didorong justifikasi bahwa ‘untuk apa
diuji lama-lama, toh mereka paling juga tidak bisa menjawab’ atau ‘mau soal
mudah atau sulit, mereka juga tidak bisa menjawab keduanya’ dan
komentar-komentar miring lainnya. Hal inilah yang menjadi kegelisahan saya. Bukankah
kita sudah menulis persiapan soal mulai dari mudah hingga sulit dan bukankah
hak mereka untuk diberikan porsi pertanyaan yang sama? Mungkin bila ia bisa
menjawab, ia mendapatkan porsi pertanyaan sulit lebih banyak dan bila ia
rata-rata, ia mendapatkan porsi pertanyaan kategori sedang lebih banyak. Bila
demikian, tidak menjadi masalah.
Padahal, seluruh siswa telah mempersiapkan mereka dengan
seluruh mata pelajaran yang diujikan. Hak mereka adalah diuji sesuai mata
pelajaran tersebut. Bila mereka tidak bisa menjawab, saya rasa tidaklah berdosa
bila kita memberitahukan apa jawaban yang seharusnya menjadi jawaban dari
pertanyaan tersebut. Bukankah ini juga waktu mereka untuk belajar? Bisa jadi
mereka telah banyak belajar dan menghafal, namun belum cakap untuk menjawab
pertanyaan terkait hafalan mereka.
Saya juga memberikan mereka pertanyaan dari seluruh mata
pelajaran, dari judul pertama hingga terakhir. Hal ini memberikan mereka
pengetahuan serta motivasi bahwa setelah mereka keluar dari ruang ujian lisan,
entah bisa atau tidak dalam menjawab soal, mereka memiliki satu informasi baru,
yaitu harus mulai menyempurnakan pembacaannya dan hafalannya secara menyeluruh.
Ia sadar bahwa yang akan diujikan bukan hanya satu dua judul saja, namun
seluruhnya.
Hal ini berbanding terbalik dengan penguji yang seringkali
mengatakan ‘ Ya sudah, karena kamu tidak bisa semua, coba sebutkan satu judul
yang kamu tahu. Jelaskan!’ . Pertanyaan tersebut jelas-jelas tidak membutuhkan
persiapan dari penguji dan menunjukkan penguji tidak sabar ingin segera
mengakhiri sesinya. Dampak yang dirasakan siswa yang diuji adalah ia menjadi
semakin yakin bahwa dengan pemahamannya yang baik terhadap satu-dua judul saja,
itu sudah cukup. Padahal, di ujian tulis nanti, soal akan lebih komprehensif
dan menyeluruh. Bila ini memiliki keyakinan tersebut, ia hanya akan jatuh ke
lubang yang sama pada ujian tulis nantinya.
Keinginan para penguji untuk segera mengakhiri ujian juga
sebuah masalah tersendiri. Budaya ini seolah membuat mereka tidak menikmati
waktu-waktu menguji dan yang menjadi korban tentu saja para siswa yang diuji.
Padahal, sudah ada batas minimal waktu ujian yang ditentukan oleh Direktur agar
tidak ada yang kurang porsinya dari waktu yang telah ditentukan. Hal ini
semata-mata agar seluruh siswa yang diuji mendapatkan hak mereka secara utuh
dan tidak ‘dikorupsi’.
Tulisan ini mungkin akan bersambung ke fokus lainnya.
Sebagai kesimpulan (sementara), menjadi penguji, khususnya di ujian lisan,
membutuhkan banyak persiapan dan attitude yang perlu dilakukan. Ia bukan
semata-mata memberikan pertanyaan dan memberikan nilai bagi para siswa. Jauh
daripada itu, mereka diuji untuk mencontohkan kesungguhan dalam memberikan
soal, menunggu jawaban dari siswa, memberikan pertanyaan sesuai hak dan porsi
mereka, menjauhkan berbagai prasangka sebelum masuk ujian, bijak dalam
menentukan pertanyaan, menaati durasi ujian, serta menjadikan ujian lisan ini
salah satu sarana persiapan bagi siswa untuk menghadapi ujian tulis yang akan
datang setelahnya. 
Oleh karena itu, tidaklah salah bila seluruh elemen diuji
dalam ujian ini. Bahkan, ujian bagi para penguji justru tidak kasat mata, tidak
mereka sadari, dan juah lebih berat sehingga banyak penguji yang tidak lulus
dalam ujian ini.
13 Sya’ban 1441/7 April 2020

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top